Wednesday, June 1, 2011

GENERASI ANDAL DI TENGAH ZAMAN BEBAL (1 Petrus 2:11-25)

Pengantar


Petrus menulis surat ini kira-kira pada tahun 60-68 Masehi (tidak dapat dipastikan rasul Petrus sendiri yang menulis, atau orang lain menjadi juru tulis, atau orang yang bertindak atas nama sang rasul) untuk menghibur dan meneguhkan orang-orang Kristen yang teraniaya dan tercerai-berai, serta menasihati mereka untuk tetap berdiri tegak dalam iman mereka (5:12).  Untuk tujuan tersebut ia berulang-ulang mengajak mereka untuk mengingat sukacita dan kemuliaan dari kekayaan kekal mereka (1:3-11; 3:7; 4:13-14; 5:1, 4, 6, 10) dan mengajar mereka mengenai sikap Kristiani yang tepat di tengah derita yang tidak seharusnya mereka tanggung (4:12-19).

Kendati ditujukan terutama untuk satu generasi Kristen yang teraniaya, prinsip-prinsip yang Petrus tanamkan berlaku bagi semua orang Kristen yang sengsara, untuk pelbagai alasan yang tidak disebabkan karena kesalahan orang Kristen.  Untuk dasar ini, sebagian orang menyebut Petrus sebagai “rasul pengharapan” (apostle of hope, 1:3, 13, 21; 3:5, 15).  Seluruh nasihat dalam surat ini dapat dirangkum ke dalam satu frase, “Percaya dan Patuhlah” (lih. 4:19; bdk. 2:23).

Dalam bagian ini, Petrus ingin menunjukkan bahwa keselamatan di dalam Kristus seharusnya mengilhami sikap dan tindakan orang percaya dalam berbagai jaringan sosial: dengan dunia secara umum (ay. 11-12), pemerintah (ay. 13-17), hamba-tuan (ay. 18-20), dan dasar kehidupan Kristiani (ay. 21-15).

Penjelasan Teks

Pertama, rasul Petrus berbicara mengenai hubungan orang Kristen dengan dunia.  Dengan sapaan pastoral yang hangat (“Saudara-saudara yang kekasih”), sebuah sapaan akrab di antara anggotan keluarga Allah, rasul mengenali status mereka dengan dunia.  Mereka pendatang, “kaum yang hidup bersandingan dengan yang lain,” dan perantau, “kaum yang sementara waktu berkelana.”  Dengan menggunakan keduanya, Petrus menekankan bahwa orang percaya sedang melakukan peziarahan di dalam dunia ini, mereka tidak sungguh-sungguh “tinggal di rumah mereka.”  Orang-orang Kristen yang tersebar di Asia Kecil ini terserak dan menjadi “warga kelas dua.”  Maka, ia memanggil mereka “pendatang dan perantau.”  Kata ini mirip dipakai di Mazmur 39:13, yang dikenakan bagi Israel di dalam dunia.  Petrus memberikan dua perintah, dengan nada negatif dan positif.


1.       Jauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa.  Ini perintah negatif.  Petrus menekankan perintah ini.  Tidak ada kompromi.  Dalam struktur Yunani, peringatan mengenai “dorongan-dorongan alamiah” harus ditempatkan dalam kontrol supaya mencapai tujuan yang lebih baik.  Orang Kristen harus menempatkan kasih lebih tinggi daripada dorongan-dorongan pribadi tersebut.


Selain keinginan daging, termasuk di dalamnya pencobaan untuk menggunakan kekerasan ketika menghadapi fitnah (2:12), perlakuan buruk dari tuan yang jahat (2:18) atau berbagai kejahatan (3:9).  Berbagai keinginan itu dapat menghancurkan watak manusia, hubungan sosial dan komunitas yang sejati.  Dengan kata lain, keinginan ini dapat merusak seluruh manusia (bdk. Mrk. 8:35-37).


2.       Milikilah cara hidup yang baik.  Ini perintah positif.  Petrus sangat peduli gelagat orang Kristen.  Jika orang bukan Kristen melihat cara hidup Kristiani itu baik, mereka akan tertarik untuk menjadi orang percaya juga.  Mereka bisa menuduh dan memfitnah orang Kristen (sebagai bukti bahwa mereka belum mengenal inti Kekristenan); orang Kristen perdana dituduh sebagai orang yang berkomplot, tertutup, penuh rahasia (bdk. 2:15-16).  Tetapi Petrus mentitikberatkan pada sikap hidup yang baik akan menuntun mereka bertobat.  Tetapi lebih dari itu, Petrus ingin hidup mereka memuliakan Allah (bdk. Mat. 5:16).  Hal ini mengantisipasi datangnya hari penghakiman (episkopēs, menilik atau melawat), bahwa Allah akan datang untuk menghakimi dan untuk memberkati.  Jadi, motivasi untuk berbuat baik adalah pengharapan—agar orang yang tidak percaya berbalik arah oleh sebab Allah berintervensi di dalam sejarah manusia.


Kedua, hubungan orang Kristen dengan pemerintah yang lalim.  Di bawah hukum Roma, penduduk terbagi ke dalam golongan budak atau orang mereka.  Status orang merdeka bisa sejak lahir, atau pemberian (dari status budak).  Orang merdeka sendiri bisa tergolong warga Roma atau “Latin,” atau peregrines (migran atau pelancong).  Tetapi di kota-kota Yunani (contohnya Asia Kecil), seseorang menjadi warga satu wilayah regional, tetapi bukan warga region yang lain.  Jadi, isu hak dan keistimewaan warga di Roma sangat kompleks, kerap menekan.  Maka dapatlak dimengerti bahwa orang-orang kebanyakan tidak menghormati para penguasa. 

Di sisi lain, perlu diketahui pula kultus terhadap kaisar di wilayah Asia Kecil ini.  Kaisar bukan sekadar manusia biasa.  Tak sedikit dari penduduk yang lebih getol menyembah kaisar sebagai dewa dibandingkan para penguasa daerah itu.

Bagaimana orang Kristen harus hidup?  Orang Kristen harus tunduk kepada “lembaga manusia.”  Sebenarnya ktisis berarti “ciptaan” atau “makhluk.”  Dengan kata lain, “Tunduklah kepada setiap makhluk manusia oleh karena Tuhan” (terjemahan P. Achtemeier).  Sekarang kita pelajari arti hupotassō (“tunduk”).  Apakah selalu berarti “patuh, taat, menundukkan diri”?  Kita lihat konteksnya, pertama-tama orang Kristen harus patuh kepada otoritas Allah di dalam Kristus.  Dalam terang ini ini, kita tahu bahwa di sini rasul Petrus menasihati setiap orang menemukan tempatnya dan dapat bertindak dengan tepat; bukan sebagai perinah untuk mematuhi apa pun yang pejabat katakan.  Bahwa segala pemerintah itu adalah manusia, makhluk biasa.  Mereka tidak boleh disembah melampaui Allah.

Dalam konteks penyembahan kaisar, Petrus di sini sedang mendesakralisasi pemerintah, termasuk kaisar, dan menempatkannya dalam cara pandang manusia.  Inilah alasan orang Kristen untuk melakukan civil disobedience.  Kepatuhan akan menyudahi segala macam tuduhan.  Di sini orang Kristen dinasihati dan diberdayakan untuk “mengerjakan yang benar” dan apa pun situasi yang tengah menghadangnya.  Maka kita tahu, “hormatilah raja”—jika benar yang dimaksud adalah Nero yang bertindak bengis di tahun 60-an—bukan berarti “takutlah” dan “sembahlah” Nero, tetapi ini merupakan penerapan dari perkataan Kristus di Lukas 6:27: mengasihi musuh, melakukan yang baik bagi orang yang membenci, memberkati orang yang mengutuk, mendoakan orang yang mencaci.  Di sini, prinsip agung kasih diterapkan.  Dan hanya kepada Allah seseorang takut dan bersembah sujud, bukan kepada pemerintah.

Ketiga, hamba yang diperlakukan semena-mena.  Bagian selanjutnya meneropong bagaimana hubungan hamba dan Tuhan.  Ini merupakan ilustrasi kedua bagaimana mengasihi musuh nyata dalam tindakan sehari-hari.  Petrus memakai kata oiketai (pelayan-pelayan) dan despotai (tuan-tuan).  Kata oiketai menunjuk kepada budak rumah tangga.  Sebelumnya Petrus telah menegaskan bahwa semua orang percaya adalah duloi (budak-budak), atau “para pelayan” Allah (2:16), dan Allah atau Yesus sebagai kurios, “Tuhan” (2:13; bdk. 3:12, 15).

Kendati demikian, para tuan yang dilayani oleh para budak yang telah menjadi Kristen, di antara mereka “baik dan peramah,” mungkin berarti “tidak berpihak dan adil,” sebagian lagi bengis.  Mereka ini bisa bertindak kejam, dan tidak adil (2:19).  Petrus menasihati para budak ini untuk “tunduk.”  Sama dengan perintah untuk tunduk kepada manusia di 2:13, 17, rasa takut harus ditujukan kepada Allah saja.

Hal ini tidak berarti bahwa Kekristenan membenarkan sistem perbudakan, atau menganggapnya sebagai ketetapan Tuhan.  Para budak itu ternyata sudah melakukan apa yang secara moral baik (2:20), tetapi mereka menderita karenanya.  Dalam hal ini, para budak telah bertindak sebagai agen moral, dan mereka menjujung nilai moral yang unggul.  Mereka dapat memilih untuk bertindak yang berbeda, tetapi mereka memilih untuk menjadikan kehidupan mereka sebagai kesaksian.  Di sini Petrus menganjurkan agar para budak untuk tetap berlaku sebagai agen-agen moral.

Di sini, Petrus secara tak langsung mengonfrontir sistem perbudakan yang jahat, di mana budak tidak memiliki tanggung jawab moral yang baik.  Akan tetapi, para budak Kristen itu memilih untuk “menjadi orang merdeka” (2:16).  Ketika mereka telah melakukan tugas moral itu, dan masih saja menderita, maka mereka dinasihati untuk tidak “membalas kejahatan dengan kejahatan . . . tetapi hendaklah kamu memberkati” (3:9).  Dengan jalan ini, mereka memutus lingkaran kekerasan dan menggemakan ajaran Yesus di Matius 5:38-48 dan Lukas 6:27-35—tentang prinsip tidak membalas dan mengasihi musuh.

Petrus percaya bahwa hal ini merupakan kasih karunia di pihak Allah.  Atau, mendapatkan persetujuan Allah.  Respons untuk tidak membalas sebenarnya didorong oleh anugerah yang datang dari Allah.  Para budak memilih untuk bertindak mereka.  Mereka menolak pembalasan dengan alasan bahwa mereka telah memiliki hubungan intim dengan Allah.

Keempat, dasar respons Kristen tersebut adalah salib Kristus.  Orang Kristen harus mengikuti Kristus yang juga menderita.  Ini adalah panggilan Allah bagi orang Kristen.  Allah memanggil mereka kepada hidup kudus (1:15), untuk hidup dalam terang (2:9), mengikut Yesus dalam penderitaan yang tidak adil (2:21), dan untuk menerima berkat dari kasih yang tidak membalas (3:9), dan kepada kemuliaan Kristus (5:10).  Panggilan untuk menderita adalah bagian dari panggilan Allah pada masa sekarang.


Penderitaan Kristus punya dua aspek: (1) menanggung dosa-dosa kita dan menebus kita, dan (2) memberikan teladan bagi kita.  Mengikut Yesus menjadi cara standar untuk menyebut komitmen untuk mempercayai Yesus, belajar dari-Nya.  Ketika menderita, kita belajar untuk menderita oleh sebab iman kita kepada-Nya, menderita seperti Dia dengan sabar dan tekun.  Ketimbang membalas, baik dengan kata-kata atau dengan cara-cara lain, Yesus mempercayakan diri-Nya kepada Allah.  Demikianlah orang Kristen harus bertindak.

No comments:

Post a Comment