Wednesday, June 8, 2011

Revolutionary Subordination (1 Petrus 2:11-25)


Pengantar

Landasan Teori
Dunia di luar kita memainkan dualisme menang dan kalah.  Yang menang menindas yang kalah.  Yang kalah berada dalam posisi lemah.  Seolah-olah, tidak ada hal lain yang dapat dilakukan oleh pihak lemah kecuali menurut.  Tunduk identik dengan tidak berdaya.  Namun, hal ini tidak selamanya benar!  Sebab ternyata, bertumbuhnya penindasan secara dialektis menghasilkan negasinya sendiri dalam dimensi simbolik dan religius di kehidupan kaum tertindas (James C. Scott, “Protest and Profanation”).

Kaum lemah punya cara sendiri untuk berinteraksi dengan kaum kuat.  Mereka tinggal di bawah rezim represif, dikontrol ketat dan rutin oleh pihak berkuasa.  Tapi kaum lemah belajar untuk menciptakan “kepatuhan” demi tetap melangsungkan kehidupannya.  Di muka publik, mereka lebih banyak patuh dan menurut.  Mereka melakonkan apa yang didiktekan pihak penguasa.  Tetapi di balik “pentas” (offstage), kaum lemah ini saling bertukar pikir dan berbagi perasaan.  Tanpa pengawasan penguasa, mereka kemudian mencitrakan kaum penindas dengan gambaran-gambaran tertentu.  Mereka melawan ideologi yang didiktekan oleh pihak penguasa.

Ideologi penguasa lalim telah menghapus martabat dan nilai keadilan.  Tapi hasil dari dialog kaum tertindas adalah terciptanya wacana tandingan: bagaimana kaum tertindas mendapatkan kembali harkat mereka. Dengan kata lain, inisiatif untuk mendapatkan keadilan itu datang dari hasil percakapan antarkaum tertindas.   Hasil inilah yang dipakai sebagai “senjata melawan” penindas.  Senjata ini sama sekali bukan dalam arti senjata perang.  Tetapi ideologi yang hidup di dalam paguyuban marjinal itu, yang mereka hidupi, yang menjadi norma bagi mereka, yang membangun nilai-nilai kehidupan di dalam komunitas.[1]

Pengantar 1 Petrus
Dari pendasaran teoritis ini, kita dapat melihat bahwa Surat 1 Petrus pun cukup dekat dengan teori “salinan tersembunyi” James C. Scott di atas.  Semua ahli tafsir PB setuju bahwa surat ini ditujukan kepada satu generasi pengikut Kristus yang tengah teraniaya di sekitar tahun 60-68 Masehi.  Mereka disebut sebagai resident aliens, atau “pendatang” dan “perantau.”  Ditulis oleh Petrus—entah dari tangannya sendiri atau orang lain, atau orang yang mengatasnamakan sang rasul—tepatlah dijuluki sebagai “rasul pengharapan” (1:3, 13, 21; 3:5, 15). 

Wacana tandingan yang dikemukakan oleh sang rasul ialah bahwa sekalipun martabat mereka hilang di masyarakat, tetapi mereka telah mendapatkan sukacita dan kemuliaan dari kekayaan kekal mereka (1:3-11; 3:7; 4:13-14; 5:1, 4, 6, 10).  Karena itu, mereka harus menjunjung watak kristiani ketika menghadapi penindasan yang tak seharusnya mereka tanggung (4:12-19), serta tetap berdiri di dalam iman (5:12). 

Sekiranya jemaat telah menerima sukacita dan kemuliaan, maka tidaklah sulit bagi mereka untuk membawa diri dalam kehidupan yang nyata dalam jejaring kemasyarakatan yang konkret: dengan dunia secara umum (ay. 11-12), pemerintah (ay. 13-17), relasi hamba-tuan (ay. 18-20), dan dasar kehidupan Kristiani (ay. 21-15).

Eksposisi

Pertama, bagaimana hubungan orang Kristen dengan dunia?  Mereka adalah “pendatang” dan “perantau.”  Mereka hidup di samping yang lain.  Mereka ini kaum tak berumah.  Mereka berziarah di bumi, dan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, yang nyaman.  Di mata kaum penindas, mereka adalah warga kelas bawah.  Mereka tidak memiliki hak yang sama dengan yang lain.  Kendati begitu, mereka disapa “saudara-saudara yang kekasih.”  Mereka mendapatkan keluarga yang baru di tengah beratnya kehidupan!  Mereka adalah anggota keluarga Allah.  Mereka mendapatkan harkat yang terhilang itu dari pihak Allah.  Dan ketika kita menelisik lebih lanjut, tahulah kita bahwa status di dalam keluarga Allah itu mengindikasikan jaminan kekal dan sukacita abadi yang telah diterima oleh jemaat yang teraniaya itu (1:3-11; 3:7; 4:13-14; 5:1, 4, 6, 10).

Menyadari status ini, mereka kemudian diberi dua perintah.  (1)  Menjauhkan diri dari keinginan daging.  Perintah ini sifatnya mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar.  Para pengikut Kristus secara utama menempatkan kasih lebih tinggi daripada keinginan-keinginan pribadi.  Keinginan ini termasuk godaan untuk menggunakan kekerasan ketika difitnah (2:12), penindasan dari tuan yang lalim (2:18) dan kejahatan-kejahatan lain (3:9).  Jika kasih ditempatkan di tataran paling atas, maka karakter Kristiani, relasi sosial dan komunitas akan terjaga.

(2) Memiliki cara hidup yang baik.  Keutamaan Kristen akan tampak pada gerak-gerik pengikut Kristus.  Pengikut Kristus terutama hidup bagi Allah, dan memuliakan Allah.  Martabat itu telah mereka dapatkan, karena itu, norma yang mereka miliki pun ada di tempat atas, yaitu sebagai milik Allah.  Dari status ini, mereka menantikan datangnya hari penghakiman.  Motivasi mereka satu-satunya adalah pengharapan.  Allah akan kembali menjadi Raja, mengendalikan sejarah dunia dan memberkati kaum yang taat kepada-Nya.  

Kedua, bagaimana hubungan orang Kristen dengan pemerintah?  Pemerintah di sini adalah kekaisaran Roma yang bertindak lalim.  Terkadang, hukum kewargaan di satu provinsi tidak berlaku di provinsi yang lain.  Relasi-relasi antara pemerintah-warga di daerah pendudukan Roma dapat menciptakan ketegangan-ketegangan yang serius.  Tidak heran, banyak penduduk yang tidak menghormati para penguasa.  Namun perlu disimak pula bahwa di daerah Asia Kecil, sembah bakti terhadap kaisar juga sangat marak.  Kaisar bukan manusia biasa.  Kaisar setara dengan dewa!  Pemerintah bukan saja lalim.  Mereka menaikkan derajat sampai ke taraf yang ilahi.

Orang Kristen dipaksa untuk bertindak arif dalam situasi seperti ini.  Mereka memandang pemerintah sebagai “lembaga manusia.”  Harfiahnya, “ciptaan” atau “makhluk” (Yunani ktisis).  Maka, di sini pengertiannya “tunduklah kepada setiap makhluk manusia oleh karena Tuhan.”  Tetapi, apakah hupotassō (“tunduk”) di sini artinya patuh membabi buta?  Pokoknya taat tanpa syarat?  Di satu sisi, orang Kristen memang dipaksa untuk mempertahankan hidup di tengah konteks yang sulit.

Tetapi, kita pun tahu bahwa yang terutama bagi orang Kristen adalah tunduk kepada wewenang Kristus sebagai Tuhannya.  Maka dapat dipahami, Petrus di sini mengajar agar jemaat tahu tempatnya secara tepat.  Mereka menempatkan diri secara tepat karena kepatuhan total mereka kepada Tuhan.  Pemerintah sekarang bukan lagi dipandang secara vertikal, tetapi horisontal.  Mereka adalah manusia.  Mereka makhluk biasa.  Mereka tidak boleh disembah sebagai yang ilahi.  Mereka dihormati sebagai mana menghormati orang lain.

Berarti, Petrus secara halus mendesakralisasi kuasa pemerintah.  Termasuk kaisar.  Kaisar juga manusia.  (Di satu sisi, ia membuat hidden transcript.  Di sisi lain, ia menganjurkan jemaat melakukan civil disobedience.)   Kalau mereka patuh kepada kaisar, tidak akan ada lagi tuduhan dan tudingan yang makin menyudutkan kekristenan.  Mereka harus mengerjakan yang benar, dalam konteks seburuk apa pun.  Dengan begitu, jika kita setuju bahwa “raja” yang dimaksud di sini adalah Nero yang berkuasa di sekitar tahun 60 M., maka perintah “hormatilah raja” bukan berarti takutlah dan sembahlah Nero!  Sebaliknya, dengan jitu penulis menerapkan Lukas 6:27: mengasihi musuh, melakukan yang baik bagi yang membenci, memberkati orang yang mengutuk dan mereka yang mencaci.  Bahwa hanya kepada Allah saja seseorang takut dan bersembah sujud, bukan kepada kaisar.

Ketiga, bagaimana hubungan hamba Kristen terhadap tuannya?  Tak jauh beda dengan bagian kedua, di sini terlukis ilustrasi konkret bagaimana mengasihi musuh.  Kata yang dipakai adalah oiketai, “pelayan-pelayan”; dan despotai, “tuan-tuan.”  Kata oiketai menunjuk kepada budak di rumah tangga.  Bagaimana relasi antara tuan dan pelayannya?

Di antara para pelayan itu, ternyata banyak yang telah menjadi Kristen.  Mereka tinggal bersama tuan-tuan.  Ada yang “baik dan peramah,” yang tidak berat sebelah, yang adil.  Tetapi sebagian lagi “bengis.” (2:19).  Para pelayan Kristen ini harus tunduk.  Mengapa demikian?  Hendaklah kita ingat bahwa sebelumnya Petrus telah mengingatkan bahwa semua orang percaya adalah duloi, “budak-budak”).  Mereka adalah “pelayan-pelayan Allah” (2:16).  Allah atau Yesus adalah kurios (“Tuhan”) mereka yang tertinggi (2:13; bdk. 3:12, 15).  Maka rasa takut harus ditujukan kepada Allah saja.  Tuan itu sekadar manusia.  Mereka dihormati sebagai manusia.

Di sini, para budak dilatih untuk menampilkan suatu karakter moral yang berbeda.  Mereka memilih bertindak berbeda sekalipun mereka menderita karena berbuat baik.  Mereka berketetapan hati untuk tetap menjadikan kehidupan mereka sebagai surat terbuka, sarana kesaksian yang hidup.  Mereka menjadi agen-agen moral Kerajaan Allah.  Kalau perilaku ini diketahui khalayak umum, justru yang akan dicela adalah sang tuan yang bertindak bengis terhadap pelayan yang bertindak baik! 

Jika para pelayan itu secara sadar menggunakan haknya untuk hidup bermoral, maka mereka ini “orang merdeka” yang sejati (2:16).  Seandainya telah melakukan kewajiban moral, dan tetap saja menderita, mereka tidak perlu “membalas kejahatan dengan kejahatan . . . tetapi hendaklah kamu memberkati” (3:9).  Dengan begitu, mereka akan memutus spiral kekerasan dan menjunjung pengajaran Yesus di Bukit, Matius 5:38-48 dan Lukas 6:25-35. 

Mengapa tidak boleh membalas?  Karena anugerah Allah.  Mereka tidak sedang terdesak.  Mereka dengan suka hati tidak membalas.  Mereka menjadi orang merdeka, dan mereka menggunakan kemerdekaan itu untuk tidak membalas.  Ketika mereka tidak mau melakukan pembalasan, mereka sesungguhnya menjadi orang yang bermartabat—sebab mereka telah memiliki hubungan yang intim dengan Allah.

Penutup

Mengapa orang Kristen melakukan ini?  Mereka melakukannya demi salib Kristus.  Jemaat meneladani Kristus.  Sebagaimana Kristus juga menderita, bukan tidak wajar jika jemaat pun turut ambil bagian serupa Kristus.  Ini adalah panggilan Allah bagi orang Kristen.  Allah memanggil mereka kepada hidup kudus (1:15), untuk hidup dalam terang (2:9), mengikut Yesus dalam penderitaan yang tidak adil (2:21), dan untuk menerima berkat dari kasih yang tidak membalas (3:9), dan kepada kemuliaan Kristus (5:10).  Jadi, salib Kristus menjadi “ideologi tandingan” bagi para kaum tertindas ini.  Ideologi ini didapatkan dari panggilan anugerah Allah.

Semakin mendalami makna derita Kristus, kita tahu Petrus menyampaikan dua hal.  (1) Kristus menanggung dosa kita dan menebus kita.  (2) Kristus memberikan teladan bagi kita.  Sebagaimana Kristus menolak untuk membalas ketika Ia dihina dan dicela, maka setiap orang Kristen ingin sekali belajar dari Kristus.  Ketika orang Kristen berada di bawah penindasan, mereka ingin seperti Dia, dengan belajar untuk bersabar dan bertekun.  Tidak mau membalas—dengan cacian kata-kata, dengki, menyimpan dendam, perasaan inferior, dan sebagainya.  Orang Kristen memilih bertindak sebagai orang merdeka.  Mereka mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah.  Mereka tidak menyulut pemberontakan.  Mereka berlaku baik kepada sesama.  Mereka menghormati semua orang.  Mereka mengasihi musuh.



[1][R]esistance to ideological domination requires a counter ideology—a negation—that will effectively provide a general normative form to the host of resistant practices invented in self-defense by any subordinate group” (James C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts [New Haven: Yale University Press, 1990] 118).

No comments:

Post a Comment