Wednesday, June 18, 2008

HAGIOGRAFI TIMUR : APA & MENGAPA (1)


HAGIOGRAFI TIMUR: APA & MENGAPA (2)


Seni Kristen Timur (Bizantium) memiliki dua titik pijak:

Mosaik: suatu karya seni yang sangat dikenal pada zaman Bizantium, seperti halnya perajin-perajin Roma akrab dengan ini. Seni mosaik merupakan kelanjutan dari tradisi klasik serta Helenistik),

Fayum (potret orang-orang yang telah wafat), sudah muncul pada sekitar akhir abad I dan awal abad II Masehi, yang merupakan kelanjutan seni lukis zaman Roma.

Pada tahun 313 M., Konstantinus Agung memaklumkan toleransi dan pada tahun 324 ia memindahkan ibu kota Roma ke Bosporus (yang kemudian dinamakan Konstantinopel, 330 M.; sekarang diberi nama Istanbul, di Turki).

Sejak masa itu, para artis dapat mencurahkan minat mereka dengan tanpa hambatan. Memang, masa-masa setelah itu, banyak kali Kekaisaran Bizantium dipenuhi dengan intrik heroik, kemerosotan; tetapi di tengah-tengah masa demikian--yang diwarnai penjamuran iman, pencarian spiritualitas, pencerahan, pertengkaran, penyesatan dan Konsili-konsili Ekumenis--berkembanglah Seni Hagiografi Bizantium.

Pada tahun-tahun pertama, lukisan-lukisan agamawi terbatas pada sketsa yang berkarakterkan simbolik atau dekoratif, serta penggambaran yang tidak natural. Namun, ketika teologi berkembang dan mulai mempunyai bentuk, serta iman mulai diperjelas dengan dogma, para artis pun semakin berani untuk menggambar secara lebih realistik pribadi-pribadi yang disebut orang suci di atas ikon dari kayu, atau pun gambar-gambar pribadi penting dalam Gereja, di dinding gereja.

Pada tahun 726 M., terjadilah ikonoklasme, gerakan anti ikon. Konflik yang sangat pan
as, yang memisahkan Bizantium dengan tindakan-tindakan konflik yang serba tragis. Pada masa pertengkaran dahsyat seperti ini, maka perlu diperjelas apa arti ikon. Pada Konsili Ekumenis ke-7, ketegasan ini dicapai.

Ikon berarti sarana untuk menyembah, atau beribadah. Ikon adalah objek, bukan untuk dipuja dan disembah, hanya sekadar dihormati. Sementara penghormatan itu sendiri bukan kepada kayu dan gambar itu sendiri, tetapi kepada orang yang terlukis di dalam ikon tersebut.

Misalnya lukisan seorang suci, maka yang digambarkan di dalamnya adalah hypostasis-nya, yaitu pergaulannya dengan Tuhan, apa jadinya ia oleh karena anugerah, dan bukan kodrat naturalnya sebagai seorang manusia yang unik. Penghormatan yang diberikan kepadanya dapat digambarkan dengan lebih menyentuh lagi seperti seorang ibu yang mencium dan memeluk foto (gambar) anaknya yang dikasihinya, sebagai hartanya yang paling berharga, yang kini ada di tempat yang jauh. Sang anak seolah-olah ada di dalam pelukan ibu itu, dalam dekapan tangannya yang lembut, dan kenangan akan anaknya itu merasuk dalam hati sanubari sang ibu, dan kerinduan yang amat besar pun membara di dalam hatinya.

Pada era selanjutnya, berkembang-mekarlah karya yang bernilai tinggi, dan sedikit sekali momentum untuk Gereja tidak menjadi produktif (disebabkan invasi pihak luar dan gangguan-gangguan dari dalam sendiri). Karya yang penting muncul pada era Dinasti Makedonia (867-1056 M.), Dinasti Komnenes (1081-1185), dan Dinasti Angelos (1185-1204).


Setelah pendudukan bangsa Frank (1204-1061), pada masa Dinasti Paleologos, karya seni Bizantium mencapai puncaknya di tangan Emmanuel Panselinos. Kemudian, setelah goncangnya Konstantinopel (1453 M.), Theofanes dari Kreta adalah nama seniman yang ternama. Sejak saat itu, para hagiografer lebih banyak terpengaruhi oleh corak seni Barat, seperti yang terjadi pada diri Domenicus Theotokopoulos (El Greco). Sejak saat itu, sejarah seni mengalami stagnasi, dan baru di kemudian hari, oleh Photios Kontoglou (+1965), menyapu debu yang menutupi tradisi Bizantium dan menghidupkan seni rohani tradisional ini.

No comments:

Post a Comment