Ketika menulis sebuah makalah, buku-buku apa sajakah yang saya baca, dan yang menjadi favorit saya, atau yang saya anggap sebagai paling bermutu, yang saya ambil dan saya pakai sebagai otoritas? Apakah para penulis itu semuanya:
- bergender laki-laki?
- kulit putih dari Eropa-Amerika?
- dari kelas menengah?
- pandangan mereka cocok dengan saya?
- mengonfirmasi pandangan saya?
dan saya membaca buku-buku lain dari:
- teolog-teolog lain (baik laki-laki maupun perempuan)
- non-kulit-putih dari luar Eropa-Amerika
- dari kelas bawah atau dari pinggiran
- pandangan yang berbeda dengan teologi saya,
- yang bisa menggoyahkan posisi saya
hanya untuk saya kritisi, karena pemikiran mereka sudah dapat dipastikan tidak benar dan/atau tidak alkitabiah.
Ketika saya menulis makalah yang menelaah sebuah pemikiran teolog, apakah makalah saya berujung pada konklusi bahwa pemikiran tokoh itu tidak benar dan tidak alkitabiah, dan konklusi sayalah yang alkitabiah? Ketika menulis sebuah paper "tinjauan kritis," bagaimana sebenarnya saya mengritisi pemikiran sebuah teologi? Apakah itu berarti pemikiran si teolog itu ujung-ujungnya tidak alkitabiah dan kesimpulan sayalah yang alkitabiah?
Tetapi, bagaimana saya tahu pemikiran dia tidak alkitabiah dan konklusi sayalah yang alkitabiah? Benarkah saya sudah menggali sedalam si pemikir yang sedang saya kritisi itu? Ataukah kritik saya sebenarnya didasarkan pada data yang saya peroleh dari sumber-sumber yang berasal dari Eropa-Amerika, kulit putih, laki-laki, yang pandangannya cocok dengan teologi saya sekaligus menegaskan bahwa pandangan saya benar?
***
Misalnya, ketika saya menulis "Tinjauan Kritis terhadap Doktrin Alkitab Karl Barth," saya tahu bahwa kesimpulan saya berinti seperti berikut: Doktrin Alkitab Karl Barth ada baiknya karena Barth mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah Firman yang sejati, Wahyu Allah, dan dia melawan liberalisme yang diajarkan guru-gurunya sendiri, tetapi doktrin Alkitab Karl Barth (sangat) berbahaya karena Barth tidak percaya pada Alkitab sebagai firman Allah dan penyataan khusus Allah, dan firman Allah yang tidak bersalah (ineran).
Oleh karena Barth mengajarkan doktrin Alkitab yang errant, yang bisa salah, yang merupakan kesaksian-kesaksian manusia beriman terhadap Firman Allah, maka doktrin Barth sungguh-sungguh tidak alkitabiah dan harus dijauhi. Saya akan jajar kutipan ayat untuk menunjukkan bahwa Alkitab adalah firman Allah, dan untuk mendukung argumentasi saya, maka saya akan pakai kutipan-kutipan dari teolog-teolog laki-laki, berkulit putih dari Eropa-Amerika, kelas menengah, yang cocok dengan pandangan saya, dan mengonfirmasi pandangan saya.
Sebenarnya, saya sendiri tidak pernah membaca Karl Barth dengan teliti dan detail, tetapi membacanya berdasarkan sumber sekunder atau tertier yang cenderung kontra dengan Barth (dan yang isinya sudah pasti saya dukung), lalu saya hanya mengonfirmasi kutipan itu dari buku-buku Barth, dan akhirnya saya berkesimpulan, "Iya benar, Barth percaya begini! Saya harus mengritiknya."
Apa yang sebenarnya tengah saya kerjakan? Mempertahankan pandangan teologis saya. Memang, pandangan lain itu baik, atau ada sisi baiknya, tetapi pasti salah, salah karena tidak seturut pandangan saya. Ah, tentu bukan pandangan saya, tetapi saya menyatakan tidak benar dan tidak alkitabiah, berdasarkan standar Alkitab. Karena saya berdiri di sisi pandangan yang alkitabiah, pandangan yang benar, dan dengan pandangan ini saya bisa mengritik pandangan lain itu. Tetapi bagaimana saya yakin bahwa pandangan yang saya pegang itu pandangan yang alkitabiah dan benar?
Oh, saya percaya karena inilah yang dipegang oleh Kekristenan di sepanjang abad dan di segala tempat! Yang artinya, pandangan saya ini dipegang oleh tetokoh Protestan di abad ke-16, walaupun saya sendiri sebenarnya tidak pernah mengakses tulisan-tulisan asli mereka dalam bahasa mereka sendiri serta membacanya dalam nuansa kesejarahan yang mereka hidupi. Saya cukup puas dengan mengakses data dari teolog-teolog masa kini yang gendernya laki-laki, berlatarbelakang kulit putih dari Eropa atau Amerika, dari kelas menengah, yang pandangan teologisnya sudah pasti saya setujui dan kontra dengan si pemikir yang saya sedang tinjau, dan yang sudah pasti mengonfirmasi pandangan saya.
Saya pun tidak cukup tahu pemikiran abad ke-16, karena saya bukan sejarawan, sosiolog atau antropolog. Tetapi dari pembacaan saya atas orang-orang tadi, saya yakin pemikiran abad ke-16 adalah yang benar. Dan saya cukup puas, puas untuk mengatakan bahwa pemikiran abad ke-16 itu sebagai yang benar, puas untuk mengatakan bahwa pemikiran dari abad itu mewakili pengajaran Kristen di segala abad dan di semua tempat, puas untuk mengatakan bahwa itulah kemurnian berita Injil.
***
Ada apa dengan semua ini? Saya tetap aman, nyaman dalam raga dan jiwa. Ibaratnya, saya tetap tinggal di rumah, rumah yang sudah saya ketahui seluk beluknya, posisi dan letak barang-barang yang ada di dalamnya, mengenal orang-orang yang berada di dalamnya sebagai orang-orang yang mencintai saya dan menjaga saya bagian dari keluarga itu, tanpa saya perlu tahu siapa yang membangun rumah ini dan latar belakang tanah tempat rumah ini dibangun.
Saya sudah cukup. Semua sudah ada di dalam rumah saya. Saya merasakan kasih luar biasa. Saya puas.
Saya tidak perlu tetangga, karena semua sudah tersedia di dalam rumah. Kalau pun saya dikondisikan memiliki tetangga, saya tidak perlu mendengar masukan dan nasihat mereka untuk rumah saya dan keluarga saya. Saya bisa bertegur sapa dengan mereka dan mengasihi mereka sebagai sesama manusia, tetapi tak perlu mereka memberikan masukan dan nasihat kepada saya, apalagi mengajar saya tentang hakikat, realitas kehidupan dan cara pandang terhadap dunia.
Saya sudah cukup. Saya tidak perlu berkelana. Kalau pun saya berkelana, saya akan mencari saudara yang mengenal saya dan yang tahu rumah saya, saudara yang tidak perlu memberi tahu bahwa rumah saya perlu direnovasi, saudara yang mengatakan bahwa rumah saya sudah baik dan benar, saudara yang tidak mengritik saya.
Terlebih lagi, berkelana itu bagi saya akan sangat mencemaskan. Bagaimana jika nanti saya berjumpa dengan orang asing dengan pandangan yang asing pula? Bagaimana jika orang asing itu malahan menjungkirbalikkan pemahaman saya akan realitas, akan kehidupan, akan rumah yang saya miliki, akan sesuatu yang saya anggap sebagai yang mutlak? Ketika saya berkelana dan pulang kembali ke rumah, jangan-jangan orang-orang di dalam rumah kelak akan melotot dan menghardik saya, "Kamu sudah berubah! Kamu bukan lagi Nindyo yang kami kenal! Kamu bukan anggota keluarga ini. Pergi. Kamu tidak boleh lagi tinggal di sini!"
Ah, harga yang teramat mahal harus saya bayar jika hal ini terjadi.
***
Itulah sebabnya, saya perlu menjaga aman apa yang saya percayai dan waspada terhadap semua hal yang lain. Saya harus tanamkan dalam pikiran, sebagai prasuposisi saya, bahwa keyakinan saya tidak boleh tidak teguh. Saya harus yakin bahwa dasar yang saya percayai itu kuat dan tidak akan goyah. Saya harus kelihatan tegar, dan ketegaran itu harus dibuktikan dengan saya tangkas dalam menunjukkan kesalahan pandangan orang lain, dengan alasan-alasan yang saya rasa alkitabiah dan yang dibangun berdasarkan bacaan-bacaan saya yang ditulis oleh para teolog yang semuanya adalah laki-laki, kulit putih dari Eropa-Amerika, dari strata menengah dan terpandang di masyarakat, pandangannya sealiran dengan saya dan menolong menggarisbawahi apa yang saya sudah pegang teguh.
Saya dapat menunjukkan baiknya sebuah pemikiran yang sedang saya kritisi, tapi saya tidak mungkin akan menunjukkan kebenaran pemikiran tersebut, apalagi memakainya dalam pengajaran, pelayanan dan kehidupan rohani saya. Sebab, menurut hukum non-kontradiksi, tidak mungkin ada dua kebenaran yang saling bertentangan bisa berjalan bersama-sama: "A tidak mungkin adalah non-A." Pilihannya: saya benar, dia salah; atau dia benar, saya salah. Tidak ada wilayah abu-abu di sini, karena kebenaran itu tidak pernah ambigu. Tidak perlu ada dialog karena dialog hanya akan mengompromikan kebenaran, kebenaran yang di atasnya saya berdiri.
Maka, seumur hidup saya akan saya abdikan untuk mempertahankan kebenaran dan mempertahankannya dari ancaman semangat zaman yang mencoba menggerusnya, dan mempertahankan Kekristenan yang sejati, yang sudah ratusan tahun diwariskan dan dijaga oleh Tuhan sendiri. Saya akan rajin membaca dan menyelidiki dengan cermat bahwa kebenaran itu benar, dan kesalahan itu salah, dan saya akan mengumpulkan data-data yang saya bisa peroleh dari pemikir yang semuanya laki-laki, kulit putih Eropa atau Amerika, dari posisi terpandang di masyarakat Kristen karena mereka menjadi dosen atau guru besar di perguruan tinggi ternama, dan tentu yang selaras dengan pandangan saya. Karena saya bisa yakini, merekalah yang dipakai menjaga kemurnian pengajaran Kristen di segala abad dan tempat, pengajaran yang ditegaskan pada abad ke-16 itu, dengan adagiumnya yang terkenal "Allahku Benteng yang Teguh" (Ein' feste Burg ist unser Gott)!
Benteng saya pun harus kokoh. Pertahanan saya harus kuat.
Bila demikian, para pemikir dari ras dan etnis lain, yang bukan dari kelas menengah, atau yang bergerak dari periferi (pinggir), yang bukan guru besar di perguruan tinggi terkenal, yang teologinya berbeda dan yang dapat menggoyahkan posisi teologis saya, haruslah saya dekati dengan rasa curiga. Pemikiran mereka pasti ada lubangnya; pasti mereka tidak berdasarkan pada Alkitab; pasti mereka tidak percaya kepada ketidakbersalahan Alkitab. Pasti ada kelemahan, walaupun--sekali lagi--ada kebaikan dalam pemikiran mereka dan pemikiran mereka dapat dimaklumi berdasarkan konteks mereka hidup. Tetapi, pandangan mereka berbeda dengan pandangan saya. Mereka berdiri di pijakan yang berbeda. Mereka salah. Itulah kenapa, saya harus meninjau secara kritis pemikiran mereka.
Kecuali, pandangan mereka sama dengan saya tentang Alkitab dan ketidakbersalahannya, atau, yang walaupun dari denominasi dan tradisi gereja yang berbeda, mereka mendukung posisi teologis saya, atau pandangan mereka mendukung Kekristenan abad ke-16 yang mengembalikan gereja ke dalam kebenaran itu, atau daftar bibliografi di buku mereka bisa membuat saya mengangguk-angguk sebab pemikir-pemikir yang mereka anggap otoritatif sama dengan yang saya pandang otoritatif dan mereka mengritik pemikir-pemikir yang saya kritik.
Saya tidak akan pernah menyerah dalam mempertahankan pandangan yang saya pegang, karena untuk itulah saya dipanggil, dan karena saya tahu harga yang harus saya bayar teramat mahal bilamana saya melintas batas dan menyeberang pagar. Saya harus mempertahankan iman saya. Saya tidak siap untuk tidak mempunyai pegangan yang teguh. Saya tidak siap hidup dalam ambiguitas yang serba tidak jelas. Saya ingin yang pasti, karena kepastian itu memberi rasa aman dan kenyamanan bagi raga dan jiwa.
Atau, konsekuensinya, semua orang akan mencampakkan saya, dan bahkan mungkin Tuhan pun akan menghukum dan meninggalkan saya. Saya menjadi rentan. Saya menjadi lemah dan tidak berdaya. Lebih dari itu, saya akan kehilangan harga diri. Saya seakan-akan ditelanjangi dan dunia mencemooh saya. Saya tidak siap mendapat label yang berbeda dari komunitas saya: posmo, ambigu, pluralis, abu-abu, menyimpang, dan sesat.
***
Bila saya seorang teolog, buku-buku karya siapa saja yang saat ini sangat memengaruhi pemikiran teologis saya?
"Ideologi" = apa yang saya tidak tahu bahwa saya sebenarnya tahu.
Seattle, 16 Juli 2015