Saturday, August 2, 2008

Pelayan yang Berintegritas



PELAYAN YANG BERINTEGRITAS





PENDAHULUAN



Setelah mendengar rangkaian perkataan yang disampaikan di sebuah bukit, kerumunan orang itu berdecak kagum. Dari mulut mereka keluarlah pengakuan, “Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa [as one who had authority]” (Mat. 7:29). Sang laki-laki muda dari Nazaret itu tidak seperti para pemimpin agama mereka: para imam dan ahli-ahli Taurat mereka. Kuasa yang Ia miliki bukan diperoleh dari kefasihan-Nya berbicara, yang diramu dengan berbagai cerita pengalaman hidup yang menarik; juga bukan dari deretan gelar yang Ia sandang, apalagi kedudukan yang diperoleh-Nya lewat "Pemilu," yang kemudian dapat dipergunakan sekehendak hati untuk mengenyangkan perut sendiri. Ia mengajar dengan integritas. Ia sendiri yang menjadi model dan teladan dari tiap kata yang keluar dari mulut-Nya. Ajaran-Nya dapat di-cross check dengan tindakan-tindakan-Nya, dan tidak ada yang berkontradiksi.



Integritas menjadi penting dalam kehidupan gereja perdana. Seorang penilik jemaat harus memiliki integritas kehidupan yang baik. Jauh setelah Kristus kembali ke rumah Bapa-Nya yang di surga, seorang rasul yang merupakan mantan Farisi menulis kepada salah seorang anak didiknya, Titus, bahwa ia harus mengajarkan kebenaran dengan jujur (in your teaching show integrity, Tit. 2:7). Mengapa jujur yang dituntut? Karena kata ini menunjukkan apa yang ia ajarkan tepat sama dengan kelakuan.



Ingatlah apa yang terjadi dengan Ananias dan Safira, pasangan suami-istri yang ikut-ikutan menjual harta miliknya untuk mereka persembahkan di hadapan kaki rasul-rasul. Tetapi di mata Petrus, persembahan mereka sungguh tidak menyenangkan hati Allah. Meskipun dari luar mereka nampak mempersembahkan sesuatu kepada Allah, tetapi ada sesuatu yang mereka sembunyikan di belakang punggung para rasul. Ya, kita tidak tahu persis. Tetapi rasul Petrus tahu, dan oleh karena itulah ia mengatakan bahwa mereka telah mendustai Roh Kudus (Kis. 5:3, 4, 9). Akhir kisah kehidupan mereka yang tragis semakin menegaskan bahwa mereka tidak secara tulus dan jujur mempersembahkan hasil penjualan tanah mereka. Mereka mati seketika di depan kaki Petrus. Mereka tidak jujur. Mereka tidak mempunyai integritas.



Bila demikian, “integritas” sama artinya dengan kejujuran. Orang yang berintegritas ditandai dengan kejujuran dalam setiap perilaku dan tutur katanya. Apa yang ia katakan cocok dengan apa yang ia lakukan. Orang yang berintegritas berani menjadi teladan bagi orang lain. Orang yang berintegritas tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai-bagai tawaran yang instan dan menggiurkan, tetapi yang akan menjerumuskan ke dalam penyesalan yang mendalam. Ia tidak akan mudah dibingungkan oleh godaan. Sebaliknya, dialah yang akan mampu menarik orang untuk mengikut dia dan meneladan langkah-langkah-Nya. Kristus membuktikannya! Rasul Paulus mengimitasi-Nya! Tuhan Yesus berkata, “Ikutlah aku”; sedangkan rasul Paulus berkata, “Ikutlah aku, seperti aku mengikuti Kristus” (1Kor. 11:1).[1]



MENJADI PELAYAN YANG SEPERTI KRISTUS



Pertanyaannya kini adalah, apakah mungkin bagi kita untuk menjadi pelayan seperti Kristus? Jika dimungkinkan, seperti apa dan bagaimana caranya? Roma 6:11-14 menjawabnya.



Pertama, dipersatukan dengan Kristus.



Rahasia hidup seorang Kristen sesungguhnya terletak pada hal ini. Ia menjadi seorang Kristen yang sejati, yaitu dengan dipersatukannya dirinya dengan Kristus. Hidup Kristus menjadi hidupnya. Bukan semata-mata ajaran-Nya! Inilah yang membedakan Kristus dari semua pemimpin agama dan dunia lainnya. Mereka mempunyai ideologi untuk diikuti, doktrin untuk ditegakkan, ajaran untuk ditularkan. Kristus memang mempunyai semuanya, tetapi Ia menghendaki agar tiap-tiap murid-Nya mengalami persekutuan yang pribadi dengan Dia.[2]



Persekutuan ini terjadi dalam kematian dan kebangkitan. Kita mati dan bangkit bersama Kristus. Mati untuk apa? Bangkit untuk apa? Kita mati bagi dosa. Dan hidup bagi Allah. dalam Roma 6:11, hal ini ditegaskan dalam kalimat indikatif. Di tempat lain, yakni dalam Kolose 2:12, rasul Paulus berkata bahwa jemaat Tuhan telah “dikuburkan dalam baptisan [dengan Dia], dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah . . . .” Mati bersama Kristus! Hidup bersama Kristus! Mati dan hidup kita bersama dengan Kristus.



Lihatlah para pemimpin lain! Mereka hidup, mungkin untuk berbagi dengan para murid. Tetapi dengan meninggalnya sang pemimpin, niscaya usai pula perjuangan dan ajaran sang pemimpin. Ia mati sendiri, dan para murid tinggal melanjutkan ideologi dan mimpi-mimpinya. Namun mereka itu semua tetap tinggal di dalam kubur mereka masing-masing. Nama mereka dikenang. Pemikiran mereka dipuja-puja. Kehidupan mereka pada masa lalu diikuti oleh banyak orang. Tetapi jasad mereka tak bergerak di dalam kubur.



Kristus beda! Kristus menyatakan suatu rahasia yang agung bagi kita; yaitu bahwa siapa saja yang menjadi murid-murid-Nya dipersatukan bersama dengan Dia. Ia hidup untuk mereka. Ia mati untuk mereka. Ia bangkit untuk mereka. Dan mereka hidup di dalam Dia.



Saudara hendak melayani Kristus, dan bertekad menjadi pelayan-Nya yang setia? Sudahkah Saudara mengerti rahasia yang satu ini? Seorang pelayan Kristus adalah seorang yang sungguh-sungguh telah berada di dalam persekutuan yang indah dengan Kristus. Bagaimana untuk dapat menikmati persekutuan yang indah ini? Jawabannya adalah: oleh anugerah semata dan melalui iman.



Jadi, Kristus tidak hanya ingin menjadi Guru Agung kita! Kristus bukan menjadi patron kita semata-mata. Kristus adalah hidup kita! Maka, menjadi serupa dengan Kristus adalah mungkin, oleh karena kita telah berada dalam jalinan persekutuan dengan Dia. Kita melayani Kristus dengan gembira, oleh karena kita telah menjadi bagian dari hidup Kristus, dan Kristus pun menjadi hidup kita. Ia adalah semua dan di dalam segala sesuatu! (Kolose 3:11).



Kedua, membuang segala dosa.



Tuhan menghendaki setiap pelayan-Nya menjadi pelayan yang kudus. Kudus berarti dipisahkan dari kecemaran, dan dikhususkan bagi pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Tetapi hendaklah kita selalu ingat, bahwa dosa adalah kuasa yang mahadahsyat untuk mengancam orang percaya. Maka, rasul Paulus memberikan imperatif ini, “Hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu.” Arti “berkuasa” sama dengan “bertahta” (basileuetō). Berarti, dosa selalu mengintip setiap pelayan Kristus, dan ia sedang mencari-cari masa dan tempatnya untuk menundukkan pelayan Kristus.



Lebih lanjut kita perhatikan, dosa tidak hanya berhubungan dengan tindakan-tindakan yang kelihatan. Di dalam Alkitab, dosa pun menyusup ke aspek yang rohaniah dari manusia. Dosa merusakkan “kehendak” manusia. Lihat kata “keinginan” (epithumia) dari dosa. Kata ini menunjukkan bahwa serangan dosa akan menyusup telak kepada pusat batin orang beriman. Ia merusakkan kehendak manusia. Pikiran manusia menjadi cemar dan hati mereka pun menjadi gelap.



Kadang sebagai pelayan Allah, kita tergoda untuk berpikir, “Ah, orang kan nggak tahu!” Kita menginginkan sesuatu yang buruk terjadi. Itu pun dosa. Sempat atau tidak sempat terlaksana, itu tetap adalah dosa. Teladan yang konkret adalah rasul Paulus sendiri. Ia sudah melayani Tuhan selama lebih dari 20 tahun. Tetapi ia tetap bergumul dengan dosa. Ia belum menjadi orang yang suci total! Ia bersaksi, “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rm. 7:24). Bila rasul saja berlaku jujur dengan kehidupannya, tidakkah kita perlu mawas dan rendah hati untuk mengakui, bahwa kita jauh lebih rentan untuk terjatuh ke dalam pencobaan.



Tetapi, kadang orang pun berkata, “Apakah masih relevan untuk berbicara mengenai kekudusan hidup? Ini zaman edan, dan siapa tidak ngedan [Jawa “menggila”] ora bakal keduman [tak akan mendapat jatah].” Hidup itu berat, dan apakah orang Kristen masih dituntut dengan tekanan baru untuk hidup kudus dan tidak bercela? Mana mungkin?



Namun demikian, pertama, apatah yang dapat kita katakan di hadapan Tuhan, ketika memang benar bahwa di dalam sejarah Israel maupun Gereja, Tuhan memanggil kita untuk hidup kudus? Alkitab memang mengatakan bahwa umat Allah haruslah umat yang kudus. Kedua, konsekuensi logis dari seseorang telah dipersekutukan secara rohani dengan Kristus adalah gaya hidup yang sama sekali berbeda dari dunia, bukan? Bila ada orang yang mengaku telah mengenal Kristus, tetapi hidupnya masih amburadul, tentulah kita kembali bertanya, sungguh-sungguhkah ia telah mengenal dan bersekutu dengan Kristus?



Jadi, panggilan untuk hidup kudus di dalam Kristus bukanlah sebuah pilihan, artinya: orang bisa memilih Kristus, tetapi tidak memilih hidup kudus. Keselamatan di dalam Kristus dan hidup kudus adalah satu paket yang utuh. Ketika seseorang diselamatkan, maka ia pun dikuduskan oleh Allah. Apa pun tugas dan jabatan kita, tinggi dan rendah kedudukan kita, orang Kristen diberi kepercayaan untuk hidup kudus. Maka, marilah kita terus berjuang, agar dosa tidak kita beri tempat untuk bertahta dalam hati kita, dan menguasai kita. Jagalah diri kita. Jaga anggota-anggota badan kita dari setiap dosa, besar atau kecil. Jauhilah dunia dengan segala nafsunya. Jangan pernah coba-coba.



Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah.



Menjauhi dosa adalah satu sisi. Masih ada sisi lain, yaitu mempersembahkan diri kepada Allah. Mempersembahkan sesuatu, kadang-kadang begitu enteng keluar dari mulut kita. “Ku persembahkan hatiku dan jiwaku.” Dalam lagu-lagu gereja, kata-kata yang mirip seperti itu hampir tiap Minggu kita ucapkan melalui mulut kita. Sesungguhnya, tahukah kita—ada masalah besar di sini! Di mana sih hati kita itu? Di mana sih jiwa kita kita itu? Sadarkah kita, bahwa terlampau sering kita berbicaranya abstrak di hadapan Tuhan? Memang, bicara abstrak lebih mudah ketimbang konkret. Dengan sesuatu makin abstrak, semakin banyak pula arti yang dapat muncul. Bila banyak arti, maka jadinya lebih ringan tanggungan pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan. Kita jadi nggak susah-susah mikirin konsekuensi dari ucapan yang konkret itu. Arti mempersembahkan hati, kalau begitu, bisa macam-macam, bukan?



Apakah Alkitab mengajarkan hal-hal yang abstrak seperti itu? Tidak! Mungkin saja Alkitab berbicara mengenai penyerahan hati dan jiwa, tetapi yang dimaksud pastilah bukan hal yang mengawang-awang. Prinsip pelayanan sebenarnya sederhana saja: persembahkan anggota-anggota tubuh kita. “Serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah, untuk menjadi senjata-senjata kebenaran” (Rm. 6:13). Tidakkah kita lihat, firman Allah mau agar tubuh kita dipakai untuk menjadi “senjata-senjata kebenaran.” Di tangan Allah, kita akan dipakai untuk menjadi “senjata kebenaran.” Artinya apa? Kata hopla dikaiosunēs adalah “senjata-senjata untuk tujuan kebenaran.” Indikasi dikaiosune menunjuk kepada aspek etis-moralitas. Artinya, orang Kristen harus menjadi sikap dan perilaku yang memperkenankan hati Allah. Tuhan adalah Tuan dan kita adalah hamba-Nya, maka setiap hal yang dituntutkan oleh Tuhan, wajiblah kita mengikuti dan mematuhi-Nya, dan anggota tubuh kita akan diubahkan untuk menjadi instrumen bagi kemuliaan Allah.



Ya, anggota-anggota tubuhmu! Apa itu anggota-anggota tubuh? Bukankah itu mata? Bukankah itu telinga? Bukankah itu ucapan bibir dan kata yang keluar dari mulut kita? Bukankah itu tangan? Bukankah itu kaki? Konkret bukan? Tetapi apa artinya? Hendaklah mata tidak kita condongkan kepada hal-hal yang dibenci oleh Tuhan. Hendaklah telinga tidak mendengar kabar-kabar sumbang yang hanya merupakan fitnahan tentang saudara seiman kita. Hendaklah mulut kita tidak dipenuhi dengan sumpah serapah dan kutuk, tetapi puji-pujian dan penguatan. Hendaklah tangan kita mengerjakan segala sesuatu yang tidak diperkenankan Tuhan, tetapi segala karya yang dapat kita usahakan bagi kemuliaan Allah. Hendaklah kaki kita tidak melangkah ke tempat-tempat mesum dan najis, tetapi bergiat untuk menolong sesama yang membutuhkan dan melayani Tuhan bersama umat-Nya dalam sebuah persekutuan orang-orang kudus. Marilah mengingat lagu sederhana ini:



Hati-hati gunakan tanganmu,

Hati-hati gunakan tanganmu,

Allah Bapa di surga memandang penuh cinta,

Hati-hati gunakan tanganmu.



Oh, masih banyak lagi daftar yang kita dapat buat. Kita dapat mengubahnya dengan kaki, mulut, hidung, mata, dan sebagainya. Tapi cukuplah contoh-contoh itu untuk membuat kita merenungkan dari hal yang paling sederhana dalam pelayanan.





PENUTUP



Pelayan Kristus adalah orang-orang yang meneladan kehidupan-Nya. Bahkan, yang tinggal di dalam Dia. Tinggal di dalam Dia inilah yang menjadi prasyarat agar kita dapat menjadi pelayan-pelayan yang berintegritas. Layanilah Tuhan dengan segenap hatimu.



Ada lagu Sekolah Minggu yang saya kenang, sebuah lagu yang sangat sederhana:



Tanganku kerja buat Tuhan,

Mulutku puji nama-Nya,

Kakiku berjalan cari jiwa,

Upahku besar di surga.



Tunaikan tugas pelayananmu. Kerjakan dengan setia. Jadilah pelayan yang berintegritas.



TERPUJILAH ALLAH!




[1]Jika kita mau jujur, berkali-kali dalam pengalaman bergereja, banyak orang yang iri dan ingin menjadi seperti yang lain. Bila memang apa yang diikuti itu memiliki nilai Kristiani yang solid, OK-lah. Tetapi sering justru yang terjadi adalah sebaliknya, gereja-gereja inginnya adalah meniru yang lain. Tak terkecuali hal ini pun dialami oleh begitu banyak gereja arus utama.



[2]Dalam khasanah gereja perdana, para bapa gereja, khususnya Gereja Timur mengenal istilah unio mystica, yaitu “persatuan mistik” atau “persatuan rohani” antara Kristus dengan umat-Nya.



No comments:

Post a Comment