Saturday, August 30, 2008

BERILAH KESEMPATAN KEPADA GEREJA



BERILAH KESEMPATAN KEPADA GEREJA



Saya cukup sering merenung mengenai kehidupan bergereja. Beberapa waktu lalu, ada hal kecil yang menggelitik hati saya. Ini berkenaan dengan keberlangsungan banyak gereja. Gereja banyak yang pecah. Kiprah orang kristen di masyarakat kian lama kian surut, dan suara kenabian gereja menjadi “nyaris tak terdengar!”; dan alih-alih menyediakan suatu bait suci bagi Allah, gereja membangun gedung super megah, dengan biaya di atas kisaran milyaran rupiah, bahkan puluhan milyar rupiah. Tempat bagi Roh Allahkah? Atau sebenarnya sedang membangun mega proyek pribadi sebagai monumen megalomania yang berbalut pietisme? Ditambah lagi, banyak hamba Tuhan yang berpotensi besar, akhirnya tidak bertahan lama berada di gereja, dan memilih untuk terjun dalam lembaga-lembaga di luar gereja: mengajar di sekolah teologi ataupun membuat lembaga-lembaga independen. Ada apa dengan gereja?



Konon kabarnya sejumlah gereja ingin menegakkan kebenaran Injili. Apa artinya Injili? Yaitu Injil Kristus yang berkuasa atas kehidupan: Injil yang menyelamatkan, Injil yang memperbarui, Injil yang menguduskan dan yang mengantar kepada kehidupan yang kekal. Tetapi istilah “Injili” menjadi tercoreng dan tak lebih merupakan cemoohan di sekalangan orang Kristen Indonesia, karena jika ada gereja berlabel “injili,” hampir-hampir kok dapat dipastikan merupakan pecahan dari sebuah gereja yang telah mapan.



Apakah ini yang menyebabkan sebagian teolog muda yang baru panas-panasnya mentas dari pendadaran seminari atau sekolah tinggi teologi, merasa enggan untuk berada di gereja? Dinamika gereja begitu kecil, dan membatasi ruang gerak seorang muda yang masih mempunyai banyak idealisme dan cita-cita yang relatif belum tercemari oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan urusan persaingan politis antarpengerja gereja. Mereka memilih untuk cepat-cepat meninggalkan pelayanan gereja. Jikalau prestasi cukup baik, suka membaca, gemar berbagi ilmu, mereka lebih memilih untuk menjadi dosen teologi. Dan, mengapa tidak?



Pernah saya pun mengalami pergumulan untuk hal yang serupa, meskipun tak persis sama, pada awal-awal memasuki pelayanan gerejawi. Gereja sangat menjenuhkan. Hampir-hampir pengetahuan dan ilmu saya tidak berkembang. Apa yang saya ketahui, yang saya gemari, tak dapat saya salurkan kepada jemaat. Saya ingin kuliah lagi, dan setelah itu saya ingin mengajar.



Saya bertanya kepada seorang mentor rohani, mengenai beratnya pelayanan di gereja, dan kemungkinan-kemungkinan untuk mengambil jalur pelayanan lainnya, salah satunya mengajar. Saya memaparkan juga kenyataan gereja-gereja modern yang ada, dan banyaknya hamba Tuhan potensial yang hengkang dari tempat pelayanan dan memilih untuk menjadi pengajar di sekolah teologi. Masa depan gereja kian seram menurut saya.



Beliau tidak melarang. Hak sepenuhnya ada pada saya. Tetapi ada satu pernyataan beliau yang menjadikan saya tercenung, “Berilah kesempatan kepada gereja 5-10 tahun, karena memang banyak pengajar calon-calon pengerja gereja di sekolah teologi, tetapi mereka sendiri bukan orang gereja. Intelektual mereka baik sekali, tetapi belum sempat mereka membangun komunitas di dalam dan bersama umat Tuhan.”



Memberi kesempatan kepada gereja? Itulah pernyataan yang membuat saya tidak dapat tidur beberapa hari, dan yang “memaksa” saya untuk mengambil keputusan. I have decided! No turning back!



3 comments:

  1. mas, kalau semua terlalu cepat kabur ke sekolah teologi, siapa yang ngurusin gereja? lagian, kalau terlalu cepat kabur ke sekolah teologi, apa yang bener2 bisa ngajar ttg kehidupan bergereja?

    piye? segera ke kampus putih? saya dukung sih ... cuman berilah kesempatan kepada gereja :)

    ReplyDelete
  2. Saya belum mau ke mana-mana kok Mas, saya masih berada di gereja dan nampaknya tetap akan berada di gereja, untuk bergulat dan berjuang dengan jemaat.

    ReplyDelete
  3. salute..thanks Yok untuk artikelmu ini. dalam satu masa,aku juga sempet sumpek di gereja, dengan segala pernak-perniknya yang bikin ribet. kadang timbul pikiran mau studi lagi,tapi apakah itu hanya sebuah pelarian dari seorang hamba Tuhan?bukankah panggilan mula2 kita sebagai hamba karena kita tahu betapa besarnya kebutuhan manusia (jemaat)?bukankah memang kita dipanggil untuk "ngurusin" rohaninya jemaat??? yah, berilah kesempatan kepada gereja,sebagaimana Kristus selalu memberi kesempatan kepada anggota tubuh-Nya.

    ReplyDelete