Tuesday, July 10, 2007

Keluarga yang Saling Mengampuni


KELUARGA YANG SALING MENGAMPUNI
Lukas 15.11-32


Dunia kehilangan kasih. Namun kita hidup dalam dunia seperti itu. Percekcokan, persengketaan dan perpisahan menjadi bahasa yang tiap-tiap hari kita dengar. Apa yang harus kita lakukan? Kita pun bingung, bukan? Namun simaklah sekali lagi tuturan kisah Si Anak Durhaka.

Keluarga tanpa Martabat.

Bila kejadian itu benar-benar terjadi pada zaman Tuhan Yesus, maka si bungsu itu telah menggoreskan sejuta aib bagi keluarganya: Pertama, ia menghina ayahnya dengan meminta bagian warisan, sementara ayahnya masih segar bugar. Si ayah seolah sudah meninggal!

Kedua, ia merendahkan martabat keluarga. Ia akan mempermalukan sang ayah di depan publik. Masyarakat akan mencibirkan bibie kepada sang ayah, sebab ia telah memperbolehkan anaknya meminta bagiannya. Selain itu, ia pun merusak nama baik dan reputasinya. Orang akan menganggapnya sebagai anak yang tidak tahu diuntung.

Ketiga, ia telah memutuskan tali persaudaraan dengan kakaknya. Dua orang bersaudara yang tinggal di atas tanah pusaka warisan orang tua merupakan kebanggaan orang pada zaman itu. Anak telah menjaga keutuhan keluarga, dengan membuat pusaka keluarga tidak terbagi. Bila sekarang si bungsu menuntut haknya, ia minta bagian tanah pusaka itu dan menjualnya, berarti ia telah merusak persaudaraan dengan si sulung.

Berapa banyak keluarga di masa kini yang di ambang perpecahan? Keluarga yang tanpa martabat lagi, oleh sebab keutuhan keluarga sedang dipertaruhkan di gerbang kehancuran? Ooh, keluarga bagaikan kapal yang karam!

Permohonan maaf?

Apa yang terjadi di bagian selanjurnya? Si anak pergi ke negeri rantau. Menjauh dari keluarga. Ia merasa sudah cukup dewasa. Ia merasa mempunyai hak untuk menentukan hidupnya. Apa daya, realitas menyingkapkan sesuatu yang berbeda! Si bungsu jatuh miskin. Ia mengurus babi! Kitab Talmud Yahudi menyatakan, “Terkutuklah orang yang memberi makan babi, dan terkutuklah orang yang akan mengajar anaknya hikmat Yunani.” Ah, si bungsu tak lagi menyisakan setitik harga diri!

Namun, tahukah Anda, orang zaman itu dapat menebak kisah selanjutnya? Ya, si bungsu pasti pulang! Si bungsu pasti sadar! Si bungsu pasti bertobat! Tapi tunggu dulu! Baca kalimat yang meluncur di benaknya, “Betapa banyaknya orang-orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan!”

Apa motivasinya pulang? Pertobatan yang sungguh? Pertobatan yang sejati? Ah, tak lebih dari “pertobatan semu” oleh sebab perut! Hanya karena ia kelaparan! Ia tak punya hasrat untuk mengembalikan harkat dan martabat keluarga yang hancur. Dalam pikirannya, yang ada hanyalah bagaimana supaya tidak kekurangan makanan!

Ayah yang Mengabaikan Kehormatan. Bagi orang Yahudi, mereka mengharapkan tindakan sang ayah yang berwibawa. Kasih sayang? O jelas . . . tetapi juga kebenaran dan keadilan! Harkat dan kedudukan laki-laki harus dipertahankan oleh sang ayah!

Berbalikan dengan kenyataan! Si ayah mengesampingkan kehormatannya! Ia membuang semangat feodalis, yang menjunjung harkat pemimpin sedemikian tinggi. Ia justru merendahkan diri dan bertindak bagai seorang ibu—mencium, memberi pakaian dan memberi makan.

Pertobatan yang semu, ternyata disambut dengan pengampunan yang sejati! Sang bapa menyambut si bungsu yang kini telah menjadi gembel tetap dengan sebutan “anak.” Bukankah kita diingatkan oleh firman Tuhan, ketika kita masih berdosa, anugerah Allah menjangkau kita terlebih dahulu, Kristus sudah mati untuk kita!

Tak berselang lama, tampillah si sulung yang cemburu. Ia telah bekerja keras bagi sang bapa, tapi ia merasa tidak pernah merasakan nikmatnya harta di rumah itu. Sesungguhnya, si sulung sedang menganggap diri sendiri sebagai budak upahan! Ia membandingkan ketaatannya dengan orang lain. Ia lebih baik dibanding si bungsu.

Sesungguhnya, tanpa sadar si sulung pun sedang memisahkan diri dari ikatan keluarga. Ia tak sadar bahwa ia ini anak bapa! Namun sang ayah merekonsiliasi (mendamaikan) hubungan itu.

Di Manakah Pengampunan?

Kemurahan hati tak dapat diusahakan. Kemurahan dianugerahkan. Dibutuhkan satu pihak yang berani mengambil tindakan proaktif, “Aku mengampunimu.” Pengampunan itu berani mengesampingkan harkat pribadi! Pengampunan itulah yang mengembalikan harkat dan martabat. Pengampunan itulah yang mengutuhkan dan mengikatkan keretakan.

Di tengah kegamangan hidup dan kasih yang semu, adakah ditemukan kasih yang sejati di antara keluarga Kristen? Marilah datang dalam pertobatan, bersama keluarga kita! Berdoalah agar Anda menjadi pribadi yang mampu mengampuni anggota keluarga yang pernah menggoreskan sakit hati yang mendalam! Sang Bapa yang sudah lebih dahulu mengampuni kita, pasti memampukan Anda! (NS)

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment