Sunday, August 19, 2007

Menggali Spiritualitas Roma (4)


Roma dan Visi Radikal[1]


Kita perlu mengangkat tema keradikalan Paulus dalam Surat Roma, dan relevansinya bagi kita yang tinggal dalam kultur modern. Di era itu, arti penting Roma dan paganisme (kekafiran) Romawi terfokus pada dua hal yang sangat khusus: imperium dan sang kaisar. Roma berarti kuasa—kuasa yang adi, yang berusaha menguasai dan memerintah jagad. Kuasa itu mengerucut kepada satu pribadi, yakni sang Kaisar sendiri, di kota Roma. Sesungguhnya, agama yang berkembang sangat pesat pada era Paulus mengemban misi Injil adalah penyembahan terhadap Kaisar! Baik belahan dunia Siria, Turki dan Yunani, semua tempat yang dikunjungi oleh Paulus dalam perjalanan misinya, semua marak dengan penyembahan Kaisar.

Di segala penjuru, kuil-kuil baru dan patung-patung penyembahan bermunculan, yang mengabarkan Kaisar adalah Tuhan dan juruselamat, Kurios kai Sōter. Upacara-upacara yang rumit dilaksanakan, dan tiap-tiap penduduk, apa pun agama mereka, memberikan penghormatan serta mengangkat sumpah setia kepada sang dewa agung yang telah tampil di depan kancah perpolitikan dunia. Sang dewi ROMA, sebagai personifikasi dari kota Roma, dipuja sebagai dewi yang mahakuasa. Baik ROMA maupun kota Roma sering diangkat secara bersama-sama dalam syair-syair dan sejarah kala itu. Pujangga-pujangganya seperti Virgil, Livy dan Horace, sebagai misal, menceritakan kisah kota Roma mulai dari pendiriannya oleh Romulus hingga klimaksnya berkibar sebagai kekaisaran adi daya.

Sejumlah kaisar Roma tidak terlalu mengklaim sebagai dewa yang ilahi sepanjang hidup mereka, meski mereka tahu benar bahwa mereka akan dihormati sebagai yang ilahi setelah kematian mereka. Kebanyakan kaisar cukup menyebut diri mereka sebagai anak dari dewa. Seperti misalnya Tiberius yang adalah anak dari Augustus yang ilahi. Kata yang sering dipakai untuk peringatan pengangkatan kaisar atau tanggal kelahiran sang kaisar adalah euangelion.
[2] Kita menerjemahkannya sebagai Injil. Jadi, rasul Paulus hidup dalam suatu era di mana agama yang paling marak mengabarkan injil anak allah, tuhan dan juruselamat dunia.

Kalau begitu, berita yang disampaikan oleh Paulus, bahwa Yesus dari Nasaret adalah Anak Allah Yahudi, dan bahwa Ia adalah Tuhan dan Juruselamat yang sejati, segera bertabrakan dengan ideologi yang “telah berhasil” menjaga kestabilan dunia. Sebenarnya, berita subversif, yang kena mengena dengan kehidupan politik sekaligus religius inilah yang dibawa oleh Paulus. Melepaskan ini, kita akan kehilangan jatung hati Surat Roma. Akan tetapi, haruslah kita catat juga bahwa Paulus tidak merekayasa berita Injil agar semata-mata cocok dengan konteks zaman waktu itu. Jauh dari itu! Berita Paulus tetap berakar dalam dari Perjanjian Lama dan keyakinannya bahwa Allah Israel telah menggenapi perjanjian-Nya di dalam Yesus. Sama dengan berita Perjanjian Lama, yang menegaskan keesaan Allah, maka berita Injil yang sejati itu melawan religi yang tengah marak, dan khususnya kultus pemberhalaaan Kaisar.

Roma membanggakan diri oleh sebab KEADILAN. Sebenarnya, dewi Iustitia adalah penemuan baru dari era Augustus, kaisar pertama, sebagai ilah yang baru di samping sang Kaisar. Dan Augustus, sehabis perang saudara, mengklaim telah menghadirkan PERDAMAIAN kepada dunia, sehingga Pax juga dipuja sebagai objek pujaan baru di seantero Roma. Lebih lagi, sama seperti kota-kota di dunia kuno memiliki nama rahasia untuk menyatakan identitas dan sifat yang sesungguhnya, beberapa pujangga Roma menyiratkan nama rahasia kota ROMA, apabila dieja terbalik menjadi AMOR, cinta.

Kita perlu memperhatikan dengan seksama trio di atas: keadilan, perdamaian dan kasih. Sekarang kembali ke Surat Roma. Perhatikan surat ini dalam terang ketiga kata yang dikenal di dunia Paulus. Surat Roma secara total berakar pada Yudaisme. Surat ini bertutur tentang bagaimana Allah Israel terbukti benar dalam tiap-tiap janji-Nya kepada Abraham. Yaitu bagaimana Sang Mesias Yahudi telah mengalami kematian demi umat-Nya, dan telah dibangkitkan untuk menegakkan era baru sesuai dengan pengharapan Yahudi. Berita ini sepenuhnya Yahudi. Memang, bahasa dan retorika yang dipakai bergaya Yunani. Tetapi bila kita menggali dengan serius, maka sub-berita yang Paulus angkat adalah konfrontasi dengan kultur Imperium Roma. Hal pokok surat ini adalah KEADILAN/kebenaran Allah, yang membuahkan PERDAMAIAN, semua berdasarkan KASIH Allah yang nyata pada kematian Anak Allah. Dan medium penyataan ini adalah euangelion, Injil Yesus, Tuhan dan Juruselamat dunia.

Di salah satu ujung surat yang menimbulkan polemik panjang, pasal 9-11, Paulus mengisahkan kisah perjanjian Allah terhadap Abraham, terus ke Mesias dan misi Israel bagi seluruh dunia. Dari satu sudut saja, kita melihat paralelisme terbalik dengan Roma, sementara dalam versi Roma, imperium adi daya inilah yang berperan untuk menghadirkan keadilan, perdamaian dan kasih. Pada akhir surat ini, pasal 12-16, Paulus menunjukkan bagaimana orang Kristen, dengan akal budi diubahkan oleh Injil, dimampukan untuk hidup dalam pola yang baru, yaitu menjadi umat manusia baru. Roma dengan pola moralis yang tinggi berharap, tetapi tidak dapat meraihnya. Di dalam Mesias Yesus, melalui kuasa Roh Allah, suatu pola hidup yang berbeda.
[3]

[1]Penulis menggali ide dari N. T. Wright, “Transforming the Culture,” (makalah dalam AFFIRM conference di Waikanae, Juli 1999).

[2]Salah satu penggunaan yang signifikan dari kata ini ditemukan dalam Inskripsi Kalender dari Priene (di Asia Kecil), yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1899. Kalender ini merupakan bagian dari pengantar bagi pemakaian sistem Kalender Julian di seluruh penjuru provinsi Asia, yang mengakibatkan hari pertama di Tahun Baru berimpitan dengan kelahiran Kaisar Augustus, 23 September, “And [the birthday] of the god (= Augustus, the dei filius) was for the world the beginning of the good tidings owing to him (ērxen de tō kosmō tōn di’ autou evangeli[ōn hē genethlios] tou theou)." (Fitzmyer, To Advance 158-159).

[3]Lih. proposal Richard Hays yang menyatakan bahwa kerangka etika Paulus dalam dilihat dari triad: komunitas, salib dan ciptaan baru (Hays, The Moral Vision 193-205).

No comments:

Post a Comment