Thursday, August 2, 2007

KASIH SETIA ALLAH KEPADA ANAKNYA

KASIH SETIA ALLAH KEPADA ANAKNYA

Kita mengenal pepatah, “Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.” Pepatah itu menyiratkan betapa berbedanya antara kasih ibu dan anak. Marilah kita meluaskan kata “ibu” sebagai orangtua. Nah, dalam adat sebagian orang, diyakini bahwa memiliki anak laki-laki adalah suatu keberuntungan, sebab laki-laki kelak akan menambah jumlah keluarga. Apabila tiba waktunya buat si anak menikah, maka keluarga itu pun ketambahan menantu. Sebaliknya adat lain justru suka bila anak mereka adalah perempuan, karena relatif tetap mengingat orangtua. Anak laki-laki berkebalikan, kata sebagian orangtua, mereka cenderung dipengaruhi oleh istri. Bila istri tidak gemati dengan mertua, anak itu pun akan terbujuk.

Haruskah orang Kristen membangun keluarga di atas dasar demikian? Sama dengan kata orang, sama dengan istiadat yang lumrah kita jumpai? Orang Kristen tentu memiliki nilai dan standar yang berbeda. Jauh di atas semua pranata dan kebiasaan orang sekitar. Mengapa? Sebab dasar itu diletakkan bukan oleh kekuatan manusia, tetapi karena ketetapan Allah semata-mata. Membangun keluarga adalah panggilan Allah agar manusia memenuhi bumi dengan gambar Allah (Kej. 1.27-28).

Bukankah itu terlalu abstrak? Bagaimana konkretnya? Lihat Allah! Dia yang rahmani dan rahimi! Dia saja yang mempunyai kasih setia tiada bandingnya. Kita boleh percaya bahwa Ia takkan mungkin plin-plan dalam mengambil keputusan, atau salah dalam menentukan tindakan. Allah saja yang seharusnya menjadi tolok ukur kasih kita, tak terkecuali pembangunan keluarga yang sehat dan harmonis. Bagaimana caranya?

Pertama, Allah memiliki komitmen yang tinggi. Ia setia dengan perjanjian-Nya. Ia tidak pernah ingkar janji. Allah yang memulai, Dia pula yang menuntaskan pekerjaan-Nya. Aneh, pada akhir-akhir ini terlampau banyak orang mengumbar janji di depan altar gereja, tetapi beberapa tahun kemudian juga diketemukan bahwa keluarganya tengah di ambang kehancuran. Suami-istri sudah pisah ranjang, meskipun masih dalam satu rumah. Yang ada adalah perang dingin, perang urat syaraf. Suami tak lagi setia kepada istri, demikian pula sebaliknya.

Tetapi pandanglah Allah! Dia setia dengan perjanjian-Nya. Allah memang menjatuhkan penghukuman terhadap pelanggaran dan dosa. Tapi Allah yang sama pun bertindak pro-aktif. Ia mau memulihkan keadaan umat-Nya. Wahai kita yang merindukan pemulihan, tak mungkin ada pemulihan bila kita tidak memiliki sikap pro-aktif. Pro-aktif untuk meminta maaf. Pro-aktif untuk mengampuni. Pro-aktif untuk berbuat baik. Pro-aktif untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.

Kedua, Allah berbagi kesukaan dan damai sejahtera. Allah yang rahmani itu mencurahkan rahmat-Nya. Allah yang rahimi itu meredam segala derita dan kesakitan itu sendiri. Manusia terbalik, kesakitan dibagi-bagi ke orang lain, sementara kesukaan disimpan untuk diri sendiri. Pandanglah Yesus, ketika Ia melihat sejumlah besar orang yang mendengarkan Dia berkhotbah, hatinya “tergerak oleh belas kasihan.” Sedangkan ketika menghadapi kesulitan dan tantangan kehidupan, Kristus rela merasakan seorang diri.

Jawablah pertanyaan ini dengan jujur. Sepanjang usia kita, kira-kira orang lain lebih bersuka cita ketika kita ada di dekat mereka, atau ketika kita sedang jauh dari mereka? Bila yang pertama, berarti kehadiran kita membuat kedamaian dan membawa kegembiraan buat mereka. Sebaliknya bila pilihannya ternyata yang kedua, kita perlu waspada, itu berarti orang tidak suka dengan kehadiran kita. Maka tugas kita sekarang adalah, bagilah suka cita itu kepada sebanyak mungkin orang! Jangan ditahan. Jangan diirit-irit. Jangan dimanipulasikan. Tampilkan apa adanya.

PR ini harus kita jalani tepat ketika kita melangkahkan kaki keluar dari gedung gereja dan kembali ke keluarga kita masing-masing. Karena itu, melangkahlah keluar gedung gereja ini dengan sebuah doa, “Tuhan, tolong aku untuk menjadi setia, sama seperti Allah setia kepada umat-Mu. Tolong aku untuk membangun keluargaku. Aku tidak mampu, tetapi kekuatan-Mu itu saja yang memampukan aku. Amin.”

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment