Friday, January 5, 2007

Bersaksi dengan Keberanian

MINGGU PERSEKUTUAN DUNIA 2007
BERSAKSI DENGAN KEBERANIAN
RANCANGAN KHOTBAH MINGGU, 21 JANUARI 2007 (atau 28 JANUARI 2007)


Yeremia 1.4-10


Bersaksi! . . . Ah, sebuah imperatif yang menakutkan. Bagaimana mungkin, dalam konteks negeri yang memberlakukan SKB dengan makin ketat, kita dapat bersaksi? Bukankah kita akan dicurigai, bahkan diperkarakan dengan tuduhan Kristenisasi, bila kita hendak bersaksi tentang iman kita? Membagi traktat jelas merupakan tindakan yang salah. Melakukan tindakan-tindakan karitatif pun rentan untuk dicurigai sebagai tindakan-tindakan untuk menarik pemeluk agama lain. Belum lagi, banyak di antara kita yang tidak ahli berbicara. Bagaimana mungkin kita dapat bersaksi dengan berani?

Banyak definisi, banyak konsep mengenai “misi.” Buku mengenai bagaimana bersaksi, baik untuk dilakukan oleh pribadi-pribadi maupun secara komunal, terus bertambah jumlahnya. Misi pun dikerjakan lintas disiplin ilmu: memanfaatkan psikologi, sosiologi, antropologi, bahkan pemasaran. Pelatihan-pelatihan serta konferensi-konferensi misi digelar. Misionaris-misionaris diutus ke seluruh penjuru dunia.

Apakah misi serumit itu? Apakah bersaksi itu sedemikian menakutkan?

Kita membaca Kitab Yeremia, dan teks kita berbicara mengenai panggilan Yeremia sebagai pelayan Allah. Lihatlah, Yeremia pun takut, bukan? Memasuki ladang Tuhan bukan perkara yang mudah. Tetapi, bagaimana mungkin Yeremia dapat berkelit dari panggilan itu? Tuhan seolah-olah telah membingkai gerak kebebasan Yeremia. Cobalah melakukan pengamatan sederhana: (1) Firman Tuhan datang kepadanya (lih. juga 1.2, 3). (2) Sebelum lahir sudah ditetap oleh Tuhan sebagai utusan-Nya (1.5). Yeremia benar-benar disudutkan.

Jadi, apakah “misi” yang sesungguhnya? Church planting? Pertumbuhan yang ditakar dalam besaran-besaran kuantitatif? Tentu bukan. Dalam buku terakhirnya, Dr. Simon Chan dari Trinity Theological College, Singapura, memberikan pernyataan demikian, “We then market the megachurch as the model of a successful church” (Liturgical Theology, 2006:45). Kenyataan dalam Kitab Yeremia malahan beroposisi dengan fenomena gereja zaman sekarang. Berita sang nabi tidak marketable. Sang nabi tidak mempunyai pelanggan setia.

Saya mengajak jemaat sekalian untuk memahami misi secara sederhana saja, yaitu “di mana kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia berpelukan dengan mesra.” Ada dua hal yang penting: kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Dalam Yeremia, Yahweh hadir dengan sedemikian dahsyat, Ia hadir dalam sejarah, Ia hadir secara bebas dalam perjalanan kehidupan umat-Nya, Ia hadir tanpa meminta pertimbangan atau memakai cara-cara manusia. Walter Brueggemann, dalam tafsiran Yeremia, berkata, seluruh kejadian dalam Yeremia semata-mata bersandar pada “the powerful presence of Yahweh in the historical process through Yahweh’s word that has its own free say, without reference to human strategies and calculations” (A Commentary on Jeremiah 1998:23).

Namun demikian, perkataan-perkataan Yahweh—yang sabda pandhita ratu, yang kun faya kun, yang sekali terucap tak mungkin ditarik, tetapi pasti terjadi itu—diejawantahkan oleh agen manusia. Inilah rahasia panggilan para nabi, yakni mereka yang dipanggil sebagai juru bicara Allah! Allah yang berdaulat, Allah yang empunya semesta, dan yang bebas berkarya itu, berkenan memakai manusia untuk menuturkan isi hati-Nya. Inilah jawaban mengapa dikatakan di 1.1: “Inilah perkataan-perkataan Yeremia” dan di seluruh kitab ini kita akan bertemu kalimat, “Firman Tuhan kepadaku.” Hati Allah dan tanggung jawab manusia berjumpa!

Kita bertanya sekarang, bagaimanakah terjadinya perjumpaan antara isi hati Allah dan tanggung jawab manusia?

Pertama, Allah yang menetapkan panggilan (ay. 5). Cobalah kita mengingat panggilan-panggilan Allah kepada para pendahulu Yeremia: bagaimana Allah memanggil Musa (Kel. 3), demikian pula dengan Gideon (Hak. 6.11-24), dan Yesaya (Yes. 6). Panggilan Yeremia sama dengan para para pendahulunya. Artinya, panggilan itu serius! Sebab datangnya dari Allah sendiri. Allah yang berinisiatif.

Kedua, manusia gentar dengan panggilan itu (ay. 6). Mengapa Yeremia takut? Ia merasa tidak pandai bicara, ia masih muda. Alias, panggilan Tuhan itu terlalu berat. Teramat susah untuk ditanggung. Persis seperti Musa, “Ah Tuhan, aku ini tidak pandai bicara . . . aku berat mulut dan berat lidah” (Kel. 4.10). Kata-kata yang diletakkan di mulut Yeremia demikian panas dan membakar telinga, kata-kata yang begitu berbahaya! Bagaimana mungkin seorang muda harus menghadapi rezim globalisasi, kuasa imperialisme yang sedemikian kuat? Solo! Seorang diri! Banyak orang ingin mengetahui kehendak Allah, tetapi bukankah yang paling jelas adalah bahwa panggilan Kristen membuat kita untuk berani berdiri dan tidak dikalahkan oleh spirit zaman yang mendunia?

Ketiga, Allah menutup argumentasi manusia, tetapi memberi jaminan (ay. 7-8). Man purposes, yet God disposes! Ingat percakapan tawar menawar antara Allah dengan Abraham? Abraham menawar bila ada 10 orang di Sodom, akankah Tuhan memusnahkan kota itu? Allah berkata Tidak, namun setelah itu, “pergilah Tuhan” (Kej. 18.33). Apakah oleh karena Abraham sudah puas dengan tawarannya yang 10 itu? Kalimat selanjutnya, “setelah Ia selesai berfirman kepada Abraham.” Ia yang menyelesaikan firman-Nya kepada Abraham. Allah pergi dengan bebas. God’s will is irresistible. Kehendak Allah tak mungkin dihambat

Bagaimana dengan Yeremia? “Stop, Yeremia. Janganlah katakan bla, bla, bla . . . .” Kepada siapa Yeremia diutus, ia harus pergi. Apa yang diperintahkan, Yeremia harus menyampaikan. Allah tidak memberikan waktu lebih lanjut sehingga Yeremia dapat memiliki bargaining position. Namun perhatikan, sisi lain dari disposisi ilahi ini adalah jaminan: “Jangan takut” dan “Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau.”

Keempat, Allah meneguhkan panggilan utusan-Nya (ay. 9). Inilah tindakan penahbisan para utusan Allah. Allah menyentuh mulut Yeremia. Terhadap Yesaya, Allah menyentuhkan ke mulutnya bara panas, sehingga dosa dan kesalahan Yesaya dihapuskan (Yes. 6.7). Kepada Yeremia, Allah mau menghapus keminderan dan ketidakberaniannya, dan meletakkan perkataan-perkataan-Nya sendiri. Jadi, Yeremia tak perlu lagi takut, sebab yang Ia sampaikan adalah Sabda Allah. Ia bertindak atas nama Allah. Yeremia adalah utusan Allah.

Kelima, Allah menegaskan inti panggilan utusan-Nya (ay. 10). Coba amati lebih dekat lagi besarnya panggilan Yeremia. Ia diangkat atas bangsa-bangsa dan kerajaan-kerajaan. Allah membukakan rahasia ketetapan tentang sejarah umat-Nya, masa depan wangsa Daud, dan bangsa Israel secara keseluruhan. Apa isi ketetapan itu? “mencabut,” “merobohkan,” “membinasakan” dan “meruntuhkan.” Empat kata ini negatif nuansanya. Maksudnya, tak ada satu struktur pun dalam sejarah manusia, kebijakan-kebijakan manusia, serta sistem-sistem pertahanan yang sanggup melawan ketetapan Allah. Ah, memang, kata-kata yang tidak akan disukai oleh orang-orang yang akan mendengarnya.

Namun mengikuti keempat kata itu, “membangun” dan “menanam.” Hanya Allah yang sanggup mengerjakan sesuatu yang baru, masa depan yang lebih baik ex nihilo, meski suram bahwa gelap jalan di depan. Allah saja yang sanggup membuat segala sesuatu tepat sampai titik akhir, permulaan yang baru di dalam sejarah (bdk. Ul. 32.39; Yes. 45.7; 113.7-9).

Bersaksi—pekerjaan yang sukar? Bukankah kita hanya menjadi juru bicara Allah? Bukan kata-kata kita yang kita sampaikan, Allah sendiri yang menyediakannya. The word overrules its bearer. The message requires the messenger. Pesan itu sedemikian kuat dan menguasai pembawanya. Warta itu memerlukan pembawa warta. Allah adalah Subjek. Manusia adalah objek tindakan Allah. Subjek dan objek bertemu. Kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia berpeluk-pelukan.

Bersaksi bukan dimulai dari idealisme kita. Tetapi kesadaran penuh bahwa kita tidak layak. Tetapi, tidak ada pilihan lain, Allah telah menetapkan kita untuk menjadi pewarta, menjadi terang bagi bangsa-bangsa. Marilah beranjak dari siapa kita . . . sekarang ini. Maka, bersaksilah dengan berani.

TERPUJILAH ALLAH!

2 comments:

  1. Simon Chan ini yang dulu pernah datang ke SAAT ya? Yang istrinya sempat ngajar vokal juga?
    I should know because i was the one who accompanied them when they went to the airport to fly back to S'pore. He's a very quiet man..and the wife is so talkative! huahahahahah...

    ReplyDelete
  2. Ya Betul! Waduh, saya harus menebak Anda nich, soalnya you didn't put down your name. But it's OK. Nah pada waktu studium generale di SAAT itu ada yang salah, beliau seorang pakar spiritualitas diminta mengampu ekklesiologi Asia. Saya juga ikut jadi pendengar mata kuliah itu. Sangat menarik, dan justru Pak Chan itu yang mengajak saya untuk memahami teologi narative dengan benar, bukan teologi dengan cerita. Dan yang mengherankan, 6 bulan setelah itu kuliah Dr. William Dyrness juga nyinggung hal yang sama: sentralitas ibadah. Nah, nah... ini mata kuliah yang hilang dari sekolah teologi injili.

    ReplyDelete