Tuesday, January 2, 2007

Harga Sebuah Komitmen (Tahun Baru)

HARGA SEBUAH KOMITMEN


“Barangsiapa ditentukan untuk ditawan, ia akan ditawan; barangsiapa ditentukan untuk dibunuh dengan pedang, ia harus dibunuh dengan pedang. Yang penting di sini ialah ketabahan dan iman orang-orang kudus.” (Wahyu 13.10)


Komitmen Total!

Yohanes berhenti sejenak dari memotret peperangan akbar antara binatang yang keluar dari dalam laut itu dengan umat Allah, dan kini memberikan suatu peringatan bagi orang-orang percaya. Marilah kita sejenak menggali kebenaran dari ayat ini.

Titah kenabian dalam teks ini dapat dibagi ke dalam 4 baris dengan dua rangkap klausa yang berpusatkan berita mengenai kepastian akan datangnya penawanan dan pedang:

Barangsiapa ke dalam tawanan,
ke dalam tawanan mereka sedang pergi;
barangsiapa harus dibunuh dengan pedang,
oleh pedanglah mereka harus dibunuh.

Dalam bahasa aslinya, cukup susah untuk menentukan struktur gramatikanya. Tidak ada kata kerja utama untuk kalimat ini secara utuh; dan langkah terbaik untuk memahami ayat ini adalah menempatkannya dalam konteks yang tepat, yaitu Wahyu 13.5-8. Binatang itu “diperkenankan” untuk melakukan kejahatan. Berarti, apa yang dilakukan oleh binatang itu sesungguhnya tetap dalam koridor kedaulatan Allah.

Bila demikian halnya, ayat di atas dapat dimengerti sebagai berikut. “Jikalau merupakan kehendak Allah bahwa seseorang ditawan, maka ia pasti dibawa ke dalam penawanan.” Kata hupagei (“sedang pergi”) dalam baris kedua merupakan satu-satunya kata kerja utama, dan dapat disimpulkan sebagai rencana ilahi bahwa yang bersangkutan “sedang pergi/pasti ke penawanan.”

Merenungkan ayat ini, kita diingatkan pada Yeremia 15.2,

Yang ke maut, ke mautlah!
Yang ke pedang, ke pedanglah!
Yang ke kelaparan, ke kelaparanlah!
dan yang ke tawanan, ke tawananlah!

Senada dengan kalimat itu, Yeremia 43.11 meringkasnya menjadi tiga rangkap,

Yang ke maut, ke mautlah!
Yang ke tawanan, ke tawananlah!
Yang ke pedang, ke pedanglah!

Menggali dengan saksama, memang berbeda konteks Yeremia dengan Wahyu. Di Yeremia, hal-hal tersebut adalah penghukuman kepada bangsa yang berdosa dan yang berpaling dari Allah, sedangkan di Wahyu kengerian-kengerian tersebut akibat serangan dari binatang dan para pengikutnya. Di Yeremia, sebabnya adalah ketidaksetiaan. Di Wahyu, musababnya justru adalah kesetiaan kepada Kristus.

Kalau begitu, dapat kita tarik kesimpulan, kata-kata penghakiman dalam Yeremia diadaptasi untuk situasi hidup umat Allah yang dipanggil bersama Kristus untuk menanggung “persekutuan dalam penderitaan-Nya” (bdk. Flp. 3.10). Umat Kristen di Smirna juga dinasihati,


“Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan” (Why. 2.10)

Penawanan dan kematian merupakan bagian kehidupan orang percaya. Bila kehidupan makin sulit kita rasakan, kiranya kita tak perlu heran, sebab itulah panggilan yang ditetapkan Allah bagi orang-orang yang mengasihi Dia!

Ringkasnya, kita dapat memahami sikap yang seharusnya diambil oleh orang Kristen. Secara aktif, orang percaya dipanggil untuk menolak segala kejahatan yang dianggap legal dalam kekuasaan global, yang pada waktu itu diwakili oleh kekaisaran Romawi yang kafir. Mereka harus bersaksi dan dengan tegas menolak untuk dicetak dalam pola kehidupan spirit zamannya, dengan menerima tanda dari binatang itu (Why. 13.16-17).

Secara pasif, mereka menerima penderitaan yang adalah konsekuensi logis dari keberanian itu. Mereka menolak untuk menyerah kepada binatang itu, tetapi mereka tunduk patuh kepada penyelenggaraan ilahi yang berdaulat! Hiduplah dalam kepatuhan kepada Allah, dan bertekunlah dalam bersaksi, dan biarkan Tuhan yang maju berperang untuk mengalahkan binatang itu!

Selanjutnya, Yohanes memberi komentar akan pentingnya ucapan kenabian di atas. Dibuka dengan hōde, yang oleh LAI sangat tepat diterjemahkan dengan “Yang penting di sini” (dipakai 4 kali: 13.10, 18; 14.12; 17.9), atau bisa juga “Dibutuhkan” (this demands, demikian saran penafsir Grant R. Osborne). “Yang penting di sini adalah ketabahan (hupomonē) dan iman (pistis) orang-orang kudus.”

Dua kata di atas sangat penting dalam Wahyu. Kata “ketabahan” yang juga diterjemahkan “ketekunan” dipakai pertama kali di dalam 1.9, “ketekunan menantikan Yesus” (terjemahan bebas: “ketekunan di dalamYesus”), kemudian dipakai sebagai titah yang menuntut umat Allah bertindak secara etis-moral (2.2, 3, 19; 3.10). Satu titah yang penting agar jemaat tetap tunduk dan patuh kepada Allah dan Kristus meskipun menghadapi berbagai-bagai derita dan aniaya! Kata ini dipakai terakhir di dalam 14.12, “Yang penting di sini ialah ketekunan orang-orang kudus, yang menuruti perintah Allah dan iman kepada Yesus.”

Kata “iman” (pistis) ditulis dalam 2.13, 19; 13.10; 14.12; dan “yang setia” (pistos) dalam 1.5; 2.10, 13; 3.14; 17.14; 19.11; 21.5; 22.6. Kedua kata ini menekankan makna “ketahanan” atau “ketekunan.” Bahwa orang-orang Kristen sejati pasti akan bertindak benar bagi Kristus. Mereka akan tetap setia kepada Kristus dalam kondisi apa pun. Perhatikan 2.10, 13, kesyahidan yang ada dalam benak Yohanes, yaitu ketetapan untuk “setia sampai mati.” Orang-orang yang mengasihi Kristus “tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut” (Why. 12.11). Orang-orang ini akan mempercayakan diri mereka sepenuhnya kepada Allah untuk bertindak atas nama mereka untuk mengalahkan segala kuasa kejahatan.


Anabaptis dan Komitmen

Dalam kalimat-kalimat berikut ini, izinkan penulis memakai sejumlah istilah asing dan pemikiran dari para leluhur Anabaptis. Dalam artikel yang terbit pada tahun 1955, Robert Friedmann meratap, “Present-day Mennonitism has lost the idea of Gelassenheit nearly completely.”
[1] Mennonitisme pada masa kini hampir-hampir telah kehilangan ide Gelassenheit sepenuhnya. Berhentilah sejenak membaca, dan renungkan kata-kata tersebut. Penulis yang sama juga mengutip ayat yang menjadi dasar permenungan kita, Wahyu 13.10. Benarkah demikian kenyataannya?

Gelassenheit (bahasa Jerman) berarti “ketertundukan diri,” atau “penyerahan dalam kehendak Allah” (Jerman, Gottergebenheit), kepatuhan kepada kehendak Allah, penyangkalan diri sendiri, keterbukaan (secara pasif) kepada kehendak Allah, termasuk di dalamnya kesiapsediaan untuk menderita bagi Allah; kadang berarti pula kedamaian dan ketenangan pikiran (kaum Pietis), dan dalam literatur berahasa Belanda disebut sebagai leijdzaamheid (misalnya dalam tulisan Menno Simons.) Hanya bilamana seseorang menanggalkan kehendak pribadinya, ia dapat menjadi alat yang dipakai oleh Allah.

Jika demikian, apakah kaum Mennonite dewasa ini, dan khususnya kita yang ada di Indonesia, yang bila jujur diakui tidak memiliki keterkaitan langsung dengan sejarah dan komunitas asli Mennonite, telah kehilangan semangat Gelassenheit, kepatuhan total kepada kehendak Allah itu?

Adalah leluhur Anabaptis bernama Hans Denck yang mempopulerkan ide ini di kalangan kaum Anabaptis. Hal ini tidak perlu mengherankan kita. Sebab, kaum Anabaptis memahami bahwa ketaatan dan kemuridan merupakan dua sisi mata uang dari seseorang yang telah dilahirkan kembali. Seseorang yang telah dilahirkan kembali harus menapaki jalan hidup yang sempit. Ide kesyahidan diterima dengan penuh suka cita oleh sebab penyerahan total kepada kehendak Allah. Hanya melalui Gelassenheit, “ketertundukan diri,” maka penderitaan menjadi jalan utama kepada Allah.

Teladan mengenai hal ini ditunjukkan dalam surat Michael Sattler kepada saudara-saudara di Horb, yang dikirim dari penjara pada bulan Mei 1527, “Dalam kerentanan ini, aku sepenuh-penuhnya menundukkan diriku kepada kehendak Tuhan, dan . . . mempersiapkan diriku hingga kematian demi kesaksian bagi-Nya. [Namun] aku pandang itu perlu untuk mendorong kamu mengikut kami dalam peperangan ilahi” (baca Martyr’s Mirror, atau versi ringkas yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Pustaka Muria).

Kaum Huterit, yakni para pengikut Hans Hut (m. 1527), mendefinisikan “ketertundukan diri” ini secara berbeda. Mereka lebih membumi (alias down to earth), atau dekat di hati anggota komunitas, yakni: keberanian untuk menanggalkan kepemilikan duniawi. Dengan perkataan lain, “kemiskinan pribadi yang absolut.” Tekad ini dibarengi dengan membagi-bagikan semua harta milik kepada seluruh anggota komunitas.
[2]

Oleh kaum Huterit ini, Gelassenheit, “ketertundukan diri,” diarahkan pada kasih terhadap sesama saudara, meskipun ide dasar mengenai kesiapan untuk menghadapi kesyahidan pun tidak ditinggalkan. Misalnya, dalam sebuah catatan kuno ditulis, “Kita harus mendambakan karya serta Salib Tuhan tiap-tiap hari, ketika kita telah menundukkan diri kepada disiplin-Nya (Zucht) dan telah sepakat (verwilligt) untuk menerima apa pun yang Ia kirimkan kepada kita dengan segala ucapan syukur, dan menanggungnya dengan sabar.
[3] Menno Simons sendiri, dalam traktat “The Cross of Christ” (1555), merenungkan ide leijdzaamheid secara mendalam.

Jadi, bagaimana dengan gereja Mennonite pada masa kini? Dan kita yang di Indonesia? Benarkah masih ada sisa-sisa keutamaan yang dilambari oleh semangat Gelassenheit, “ketertundukan total kepada kehendak Allah”? Masih adakah kepedulian terhadap sesama yang tidak disisipi dengan agenda-agenda keagungan pribadi? Benarkah tindakan-tindakan gereja bagi orang lain malahan mengantar gereja dan kaum Mennonite makin tidak populer? Ataukah upaya pengembangan pelayanan itu merupakan upaya-upaya pro-eksistensi (untuk mendukung kelangsungan penghidupan) dan aktualisasi diri? Apakah ada orang Mennonite yang bersedia menanggalkan semua hartanya dan berbagi dengan orang lain? Siapkah kita untuk bersikap tidak sama dengan dunia, dan mengikut Yesus secara radikal? Apakah benar bahwa setiap proyek yang dijalankan oleh kaum Mennonite sudah benar-benar bersih dari segala kompromi dan suap, dan membiarkan Allah saja yang bertindak atas nama kita? Tiada seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini mewakili orang lain.

Robert Friedmann memberikan secercah harapan, “yet with the recovery of the ideal of discipleship also Gelassenheit may be revived” (“namun dengan pemulihan cita-cita kemuridanlah, Gelassenheit dapat dibangkitkan”).


Komitmen Siapa?

Pertanyaan-pertanyaan itu terasa berat sekali untuk dijawab. Terlalu idealis. Bisa jadi! Paling tidak demikian anggapan penulis secara pribadi. Dan, nampaknya benar demikian bila kita beranjak dari sisi keharusan etis dan menempatkannya sebagai yang normatif. Aah, siapa sanggup? Kata orang Inggris, bagaikan meletakkan kereta di depan kuda.

Namun bila kembali mencermati Wahyu 13.10 di atas, bingkai besar dari komitmen kita adalah komitmen Allah sendiri, Sang Tuhan Perjanjian. Dialah Alfa dan Omega. Allah tidak akan menarik kembali perjanjiannya yang kekal. Dalam kekekalan, Bapa telah bermufakat dengan kedua pribadi Trinitas agar Sang Putra menjadi manusia, mengambil rupa seorang hamba, namun tanpa dosa, untuk menjadi tebusan bagi banyak orang (Yoh. 17.3-5; 2Kor. 5.21; Flp. 2.5-8; Mrk. 10.45).

Ia mewujudnyatakan perjanjian itu dalam ruang dan waktu. Ia menebus umat-Nya, dan memberikan Roh Kudus sebagai jaminan kepada kaum-Nya, hingga mereka mendapatkan bagian yang sempurna (Ef. 1.13-14). Komitmen Allah inilah yang kelak akan mewujud dalam kepenuhannya, ketika Allah kembali mengingatkan segenap umat-Nya yang sejati, “Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka” (Why. 21.3, 7).

Kita sering menyanyikan “Dia Tak Pernah Gagal, kar’na Dia Allah!,” namun kalimat itu bernilai hanya bila kita betul-betul percaya bahwa Allah adalah Tuhan Perjanjian, dan bahwa kehendak-Nya saja yang jadi.

Dengan demikian, Gelassenheit bukan hal yang mustahil, sebab kita tidak berjuang sendiri. Bahwa Allah pula yang mengerjakan di dalam kita “baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya” (Flp. 2.13). Kita ini umat-Nya dan kita diikat oleh satu perjanjian yang di-komitmen-i oleh Allah. Ia telah membayarnya tunai! Tanggung jawab kita sekarang yaitu, di dalam kuasa Roh Kudus, kita mengerjakan bagian kita.

Mari renungkan bersama, adakah juga yang mustahil bila “kemuridan yang radikal” itu kita letakkan dalam koridor karya penyelenggaraan ilahi, dalam keagungan kuasa dan kedaulatan Sang Pantokrator (“Yang Mahakuasa”)? O betapa indahnya, bila Gelassenheit itu pada masa kini dihidupi oleh semua pewaris-pewaris tradisi Anabaptis-Mennonite di Indonesia, generasi-generasi yang mencintai GKMI, termasuk kaum muda yang menjadi tulang punggung perjuangan Gereja Tuhan di masa depan . . . sebagaimana tercermin dalam doa pendek berbahasa Latin di bawah ini:

“Cor meum tibi offero, Domine, prompte et sincere!”
(“Hatiku kupersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, dengan segera dan dengan tepat!”)

Selamat tahun baru! Selamat menapaki tahun yang penuh misteri ini sebagai murid Kristus. (leNin_030107)

TERPUJILAH ALLAH!



[1]R. Friedmann, “Gelassenheit,” dalam Mennonite Encyclopedia (Scottdale: Herald, 1955) 2.449; atau R. Friedmann, “Gelassenheit,” dalam Global Anabaptist Mennonite Encyclopedia Online. 1955. Global Anabaptist Mennonite Encyclopedia Online. Diakses 8 Mei 2006
[2]Dalam Lima Pasal pengakuan iman mereka, khususnya di pasal ketiga diberi judul Von der wahren Gelassenheit und christlichen Gemeinschaft der Güter.
[3]Das Klein-Geschichtsbuch der Hutterischen Brüder (1529), 16.

No comments:

Post a Comment