Wednesday, January 10, 2007

Agama yang Memuliakan Allah

AGAMA YANG MEMULIAKAN ALLAH



Agama dekat sekali dengan rasa aman. Agama memberikan rasa aman. Contoh, kita takut masuk neraka. Agama memberikan solusi bagaimana kita terhindar dari neraka. Atau, kita tidak pasti dengan waktu-waktu ke depan. Agama, dengan berita akan adanya satu Tuhan memberikan penguatan kepada pemeluknya bahwa Tuhan yang mahakuasa pastilah mampu menjamin kehidupannya. Dapat kita simpulkan, agama di satu sisi adalah upaya manusia untuk sampai kepada keselamatan yang disediakan oleh Allah, dan di sisi lain bermanfaat untuk memberikan keteduhan bagi umatnya.

Tapi perhatikan lebih jauh. Kedua hal di atas, baik agama sebagai sarana untuk sampai kepada Allah serta memberikan rasa aman kepada pemeluknya, adalah agama yang sesungguhnya selfish—memikirkan diri sendiri. Itu agama yang individualis, dan cuman memikirkan kepentingan diri sendiri. Sehingga seperti yang dikatakan oleh teolog Ortodoks dari Rusia, Nicolai Berdyaev, orang-orang rela untuk menginjak-injak sesamanya supaya sampai ke surga! Lho, bukankah orang itu melakukan amalan? Tetapi coba amati motivasi di balik perbuatan baik itu: “saya berbuat baik supaya masuk surga!” Lagi-lagi, perbuatan baik dilambari supaya malaikat di surga mencatat bahwa saya ini termasuk orang yang baik!

Mengapa Saya Mengajarkan Iman Reformed?

Karikatur Reformed

Banyak orang yang anti dengan kata yang terakhir di atas: “reformed”! Bukan karena tahu, bukan karena telah mempelajari baik-baik, bukan karena sudah bergulat dengan pemikiran-pemikiran yang bermacam-macam dalam Kekristenan maupun sejarah agama-agama, tetapi karena melihat “karikatur” yang terdistorsi dari istilah itu. Reformed berarti predestinasi, dan predestinasi berarti orang tidak punya kehendak bebas, dan kalau orang tidak punya kehendak bebas berarti semacam robot. Lho, Allah kan tidak menciptakan manusia sebagai robot!?

That’s the distortion! Yohanes Calvin sendiri tidak pernah memaksudkan doktrin predestinasi sebagai pusat ajarannya. Calvin tidak memulai penguraian doktrin ini dari sebuah tata logika yang rumit. Bahkan boleh kita katakan, Calvin tidak memahami doktrin ini sebagai pijakan filosofis. Calvin menghayati pemilihan anugerah itu, atau predestinasi itu, secara praktis: kalau ada dua orang mendengar berita Injil, mengapa yang satu percaya dan yang lain menolak? Kalau yang menerima itu punya iman, dari manakah datangnya iman itu? Mencermati uraian Calvin dalam tafsiran Roma serta Efesus yang dibuatnya, kita tahu persis bahwa ia menemukan jawabnya: sebelum dunia dijadikan, di dalam kekekalan (Ef. 1.3-14; Rm. 8.29-30).

Atau, orang memahami orang-orang Reformed sebagai kaum yang berkepala besar (mungkin botak!) karena terlampau banyak berpikir yang logis-logis, termasuk Allah harus dipikir secara logis. Orangnya dingin, serius, selalu mengernyitkan dahi, skeptis, kritis, suka berdebat. This is a distortion, too! Pada zaman Reformasi, Calvin justru bukan teolog skolastik (yang ilmiah banget dan bermutu kesarjanaan tinggi).

Calvin bukan pemikir spekulatif. Ulrich Zwingli dari Zurich adalah teolog spekulatif. Peter Martyr Vermigli dari Italia, dialah teolog skolastik di antara para reformator. Joseph Scaliger, seorang yang hidup tak jauh setelah zaman reformasi, bersaksi, “Dua teolog yang paling hebat, adalah Yohanes Calvin dan Peter Martyr, yang pertama oleh sebab ia berhubungan dengan Kitab Suci sebagaimana yang seharusnya—dengan ketepatan, yang saya maksudkan, kemurnian serta kesederhanaan, tanpa tambahan-tambahkan skolastik . . . Peter Martyr, oleh sebab ke atasnyalah keterkaitan [iman Kristen dengan] kaum Sophist, yang telah mengalahkan mereka secara sofistis [dengan berfilsafat dan berlogika], dan menundukkan mereka dengan senjata-senjatan mereka sendiri.”

Tanpa mengkultus-individukan siapa pun, kesaksian para pemikir Kristen pada masa lampau yaitu, bahwa Calvin adalah seorang “teolog biblika pada zamannya.” Ke mana Alkitab menggandengnya, ke sana pula ia akan pergi. Di mana Kitab Suci mengatakan, “Stop!,” maka Calvin tidak akan bicara lebih jauh. Hampir dapat dipastikan, seseorang yang menganggap Calvin sebagai seorang sarjana yang cool, kaku, kelewat serius, dan dalam istilah Jerman Gesetzlehrer, “manusia hukum,” pasti belum pernah membaca bukunya Institutes of Christian Religion, tafsiran-tafsiran Calvin, serta traktat-traktat yang dibuatnya. Bukunya Institutes itu sendiri, bukan ditujukan sebagai summa theologiae (seperti St. Thomas Aquinas), tetapi summa pietitatis, sebuah risalah kesalehan, atau buku rohani yang membimbing orang Kristen untuk memahami Kitab Suci. Perhatikan, lagi-lagi Kitab Suci yang menjadi fokus utama Calvin. Dan sebenarnya, demikian pun semua orang yang mengaku Reformed!

Jantung Hati Iman Reformed

Mengapa saya mengajarkan iman Reformed? Jawabannya sederhana. Mendiang Benjamin Breckenridge Warfield, teolog Reformed kenamaan dari Princeton Theological Seminary, berkata bahwa iman Reformed adalah, the vision of God and His Majesty, visi tentang Allah dan segala keagungan-Nya. Iman Reformed diawali, berpusatkan dan diakhiri dengan kemuliaan Allah, dan oleh karena itu maka segala sesuatu dikembalikan kepada Allah, sebagai hak Allah, setiap jengkal aktivitas kehidupan manusia. Bahkan Warfield kembali menegaskan, iman Reformed adalah a profound apprehension of God and His majesty, suatu ide yang luar biasa mengenai Allah dan keagungan-kemuliaan-Nya!

Implikasinya, seorang Reformed adalah seseorang yang telah melihat Allah, dan setelah melihat Allah, di satu sisi, ia dipenuhi dengan perasaan ketidaklayakan untuk berdiri di hadapan hadirat Allah sebagai satu makhluk, dan lebih dari itu adalah seorang pendosa! Di sisi lain, ia diliputi oleh ketakjuban atau kekaguman yang memuja-muja Allah, bahwa walau tak layak dirinya Allah yang dikenalnya adalah Allah yang menerima orang berdosa.

Ia, yang percaya kepada Allah yang seperti ini, akan dikendalikan dalam setiap aspek kehidupannya: pemikiran, perasaan dan kehendak. Baik aspek intelektual, aspek emosional, serta aspek spiritual, bahkan selengkap-lengkap kehidupan: individu, sosial, religius berpusatkan kepada Allah, sebagai puji-pujian bagi kemuliaan-Nya!

Dapat kita membuat simpulan demikian. Agama yang memuliakan Allah adalah agama yang tidak memikirkan kepentingan-ku semata-mata. Dalam iman Reformed kita berjumpa dengan agama yang seperti ini. Sebab:

Secara objektif, iman Reformed adalah suatu teisme yang mencapai kepenuhannya. Agama yang paling utuh. Sebab, iman Reformed memiliki cara pandang teleologis yang menyeluruh akan akhir dunia ini. Bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bekerja dalam koridor rencana Allah, terwujud oleh karena kehendak Allah saja yang jadi. Kehendak-Nya saja yang menguasai seluruh proses-proses di alam, dan Dialah yang merupakan penyebab dari segala sesuatu.

Secara subjektif, iman Reformed adalah ekspresi ketertundukan manusia yang sejati. Manusia bergantung secara mutlak kepada Allah. Bukan hanya dalam doa, tetapi juga dalam segala urusan-urusan hidup setiap hari. Maka, hidup, intelektualitas, emosi—semuanya ini bergantung total kepada Allah!

Jaminan tersedia. Seorang berdosa menundukkan diri, dengan apa adanya, tanpa berpura-pura di bawah kekuasaan Allah. Ia tidak mungkin sanggup mencapai keselamatan dengan kekuatannya sendiri. Ia mempercayakan keselamatannya hanya pada anugerah Allah. Anugerah yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Anugerah yang kuat, anugerah yang tidak mungkin dapat dilawan ataupun dimanipulasi oleh nalar-nalar manusia berdosa. Anugerah yang tidak mungkin dapat disuap dengan perbuatan-perbuatan baik orang berdosa.

Maka sekarang saya mengajak kalian semua, mari kita menjadi Reformed yang sejati. Di dalam pengajaran, di dalam ibadah dan di dalam praktik kehidupan kita. Mari kita camkan, bahwa seorang Reformed adalah seseorang yang memandang Allah di balik semua fenomena, dan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini tak mungkin tanpa campur tangan Allah. Ia sedang mengerjakan kehendak-Nya supaya jadi. Seorang Reformed yang sejati juga bersikap hormat di hadapan Allah di dalam doanya dan sikap-sikap lain yang ia lakukan dalam kehidupan. Seorang Reformed yang sejati akan mengarahkan dirinya kepada anugerah Allah semata-mata, tanpa bergantung lagi kepada dunia, atau kepada kuasa arogansi (kesombongan) pribadi untuk mencapai keselamatan yang sempurna, hidup yang kekal itu.

Berbahagialah kamu, jika sejak muda kamu sudah menjadi seorang Reformed!

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment