Friday, January 12, 2007

PROBLEM BAHASA LIDAH 3

MENERJEMAHKAN ATAU MENAFSIRKAN?



Robert H. Gundry, “Istilah menafsir (penafsiran; diermeneuo), yang sering dipakai dalam kaitan dengan glossolalia dalam 1 Korintus, biasanya mengacu kepada menerjemahkan suatu bahasa ketika digunakan dalam suatu konteks.”

J. G. Davies,
“Thus the twenty-one instances of the use of hermeneuin and its cognates in the LXX and the New Testament, apart from the seven occurences in 1 Cor. 12 and 14, one refers to a satire or figurative saying, two to an explanation or exposition, and eighteen have the primary meaning of translation . . . the evidence is such as to warrant the assertion that the word used by Paul of interpreting glossolalia carries with it the strong suggestion of translating a foreign language."

A.Robertson dan Plummer menambahkan, “The dia in diermeneuin may indicate either ‘being a go-between’ or ‘thoroughness.’ One who interprets his own words intervenes between unintelligible utterance and the hearers.” Bukankah seseorang yang “go-between” dalam penafsiran dari satu bahasa sumber (yaitu masalah bahasa lidah di Korintus) ke dalam bahasa target (yaitu Yunani) adalah seorang penerjemah?

Tony Thiselton yang mempertahankan posisi RNKNB berusaha berargumen bahwa penafsiran dalam 1 Korintus 14 tidak berarti “penafsiran” ataupun “penerjemahan” tetapi “meletakkan ke dalam kata-kata.” Namun, apa yang terjadi bila kasus bahasa lidah di Korintus itu “ditafsirkan” ke dalam bahasa Yunani? Bukankah ini juga tindakan penerjemahan?

David Crystal menyatakan adanya tingkat-tingkat penerjemahan:

Kata-per-kata. Tiap kata diterjemahkan ke dalam bahasa target. Hasilnya sering tidak dapat dimengerti, khususnya ketika konstruksi idiom yang dipakai.
Terjemahan harfiah. Struktur linguistik dari teks sumber diruntut dan dituruti pola pikirnya, tetapi disesuaikan dengan kaidah bahasa target.
Terjemahan bebas. Struktur linguistik bahasa asali diabaikan, dan lebih dicari titik padanannya berdasarkan makna yang terkandung di dalamnya.

Dengan demikian, bila bahasa lidah itu “diletakkan dalam kata-kata,” maka kemungkinan besar ini bukan terjemahan kata per kata, atau bahkan terjemahan harfiah, tetapi terjemahan bebas.

Sebagai seorang linguis, Crystal mendefinisikan penerjemahan sebagai “pengubahan dari satu bahasa ke bahasa lain.” Maka, pengubahan bahasa lidah ke dalam bahasa target (Yunani) dengan cara menafsirkan cocok dengan definisi penerjemahan. Sebuah bukti yang jelas bahwa bahasa lidah bukanlah RNKNB, tetapi suatu bahasa biasa, yaitu bahasa yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.

Sebagai kesimpulan, sesungguhnya tepatlah untuk memakai kata “bahasa” saja, tanpa perlu “bahasa lidah” atau “karunia lidah.” Serta, bahwa penafsiran dan penerjemahan adalah dua sisi dari satu koin.

No comments:

Post a Comment