Wednesday, January 24, 2007

PROBLEM BAHASA LIDAH 4

BAHASA MALAIKAT/SURGAWI ATAU BAHASA MANUSIA?


Sanggahan bahwa bahasa lidah adalah RNKNB membuat kita berkesimpulan bahwa bahasa lidah merupakan sejenis bahasa. Sekarang masalahnya, bahasa malaikat atau bahasa manusia? Gordon Fee, pembela pandangan bahasa surgawi, merasa yakin bahwa masalah bahasa di 1 Korintus bukanlah bahasa manusia: seluruh argumen Paulus difokuskan pada ke-tidak-dapat-mengertian baik pada pihak pembicara ataupun pendengarnya. Dale B. Martin, yang juga berpandangan sama, menyatakan, “There is no indication that Paul viewed glossolalia as human language.” Pandangan ini tak kurang problematik seperti pandangan RNKNB.

Pertama, pemeriksaan yang saksama atas 1 Korintus 14 menyatakan tidak ada rujukan atas “surga” atau “malaikat.” Kita mendapati sejumlah rujukan akan adanya suatu kemampuan fanatik yang dipraktikkan oleh orang-orang Korintus. Hanya ada satu rujukan tentang malaikat, yaitu di 1 Korintus 13.1.

Oleh sebab tiadanya rujukan yang eksplisit (di luar 1Kor. 13.1), beberapa orang berusaha melawan bahasa lidah sebagai bahasa manusia, berdasarkan kata Yunani phonon, yang diterjemahkan sebagai “bahasa-bahasa” (NIV, NASB), “suara-suara” (KJV) di 1 Korintus 14.10-11. Robert Saucy menyatakan argumentasi ini ketika ia menulis,

Namun demikian, beberapa hal membuat sulit untuk melihat bahasa lidah di 1 Korintus sebagai bahasa manusia . . . Paling penting, Paulus menggunakan “bahasa-bahasa” asing (kata berbeda dari yang dipakai untuk “lidah-lidah”), sebagai suatu analogi bagi bahasa lidah (1Kor. 14.1-13).

Fee setuju dengan Saucy, “Moreover, his rise of earthly languages as an analogy in 14.10-12 implies that it is not a knowan earthly language, since a thing is not usually identical with that to which it is analogous.

Tetapi, apakah phonon berarti “bahasa-bahasa”? Paulus menulis,

Ada banyak -- entah berapa banyak -- macam bahasa [gene phonon] di dunia; sekalipun demikian tidak ada satu pun di antaranya yang mempunyai bunyi yang tidak berarti. Tetapi jika aku tidak mengetahui arti bahasa itu, aku menjadi orang asing bagi dia yang mempergunakannya dan dia orang asing [barbaros] bagiku.

Makna dasar barbaros adalah orang asing kepada seseorang yang sedang berbicara. Paulus menyatakan bahwa pada dasarnya semua suara ada maknanya, tetapi jika kita tidak mengerti suara orang lain, maka kita menjadi barbar satu sama lain. Orang-orang Yunani menyombongkan bahasa mereka dan merasa bahwa orang lain memiliki bahasa yang lebih rendah. Paulus menyerang kesombongan ini, dan menyatakan bahwa bilamana suatu bahasa tidak diterjemahkan, maka orang menjadi barbar kepada sesamanya.

Kedua, masalah bagi bahasa malaikat adalah acuan mengenai “bahasa-bahasa” di Korintus 12.10. Adakah banyak ragam bahasa malaikat? Justru dalam konteks Korintus dengan beragam bahasanya, kita melihat bahwa kehadiran para penerjemah menjadi perlu sekali, ketimbang bahasa-bahasa malaikat.

Ketiga, jika seseorang berkata bahwa bahasa malaikat diberikan untuk penyembahan pribadi, maka ini pun menimbulkan kesulitan tersendiri. Menurut konstruksi 1 Korintus 12.30, tidak semua orang dapat berbahasa itu ataupun menafsirkannya. Mengapa hanya sejumlah orang Kristen yang memiliki suatu kapasitas supranatural yang lebih besar untuk menyembah Tuhan? Justru karena dia tak layak sehingga ia mendapatkannya? Suatu argumentasi yang tidak berdasar, bukan? Lebih lanjut, 1 Korintus 13.8 berkata bahwa bahasa-bahasa akan berhenti pada masa eschaton (akhir, kedatangan Tuhan kedua). Apakah ini berarti ragam bahasa manusia akan berhenti, seperti kejadian Babel? Ataukah bahasa malaikat yang akan berhenti? Beberapa orang akan mengatakan, bagian ini tidak mengemukakan bahwa bahasa malaikat akan berhenti, tetapi manusia takkan lagi menggunakan bahasa itu dengan datangnya eschaton. Tetapi problemnya, mengapa kemampuan berbahasa malaikat hadir di dalam gereja sebelum masa eschaton dan mengapa bilamana bahasa itu berhenti maka manusia akan merasakan manfaatnya?

Keempat, para pendukung pandangan ini akan merujuk kepada sumber Yahudi seperti Wasiat Ayub sebagai bukti bahwa problem bahasa di Korintus adalah bahasa-bahasa malaikat. Namun, dalam tradisi Yahudi lainnya dikenal konsep “bahasa suci.” Yaitu bahasa Ibrani, itulah bahasa (bentuk tunggal) bahasa surga. Harry M. Orlinsky memberikan contoh pemahaman ini:

Ide bahwa Allah dan para malaikat berbicara dalam bahasa Ibrani adalah, secara alkitabiah . . . bahasa apa yang dipakai di Taman Eden dan sebelum Kejatuhan dan Pengusiran Manusia? . . . dan acuan mengenai hal ini juga ditemukan di Kitab Yobel, satu dari sekian kitab terkuno dalam literatur apokaliptik Yahudi. Maka kita tidak usah terkejut ketika kita belajar bahwa rahib abad XI, yang cukup tua untuk menyadari bahwa hari-harinya di bumi telah dihitung, mulai sibuk untuk belajar Ibrani, sebab ia tahu bahwa setelah ia mati ia pergi ke surga, ia harus dapat berbicara dan mengerti Ibrani, bahasa Ibrani Alkitab, jika ia ingin berbicara dengan para malaikat dan dengan orang-orang kudus yang telah mendahuluinya pergi dari dunia ini.

Jadi, mengapa Wasiat Ayub menjadi penentu untuk pandangan bahasa malaikat, sedangkan Ibrani adalah bahasa surgawi itu? Tony Thiselton pun berkata bahwa pandangan ini “purely speculative, since with the possible exception of xiii.1, there seem to be no traces in this chapters of any explicit claim by the Corinthians that they were actually speaking the language of heaven itself.

Kelima, satu-satunya pertimbangan mengenai bahasa malaikat itu (1Kor. 13:1) tak kalah problematiknya. Dale B. Martin mengatakan,

Pernyataan Paulus tentang “bahasa-bahasa manusia” di 1 Korintus 13.1 bertolak belakang dengan “bahasa-bahasa malaikat.” Yang terakhir mengacu kepada glossolalia, sedangkan yang pertama bahasa biasa. Konstruksi ini sebenarnya kebiasaan retorik “dari hal yang lebih rendah ke hal yang lebih besar” dan dapat diparafrasekan sebagai berikut, “Bahkan jika aku memiliki kuasa untuk berbicara dalam semua bahasa (jamak) manusia . . . atau, untuk menyatakan hal yang lebih mengesankan, sampai-sampai bahasa malaikat sekalipun . . . aku bukan apa-apa.” Yang pertama adalah “bahasa-bahasa manusia” dan yang kedua “bahasa surgawi” (esoterik)—yaitu glossolalia.

Menurut Martin, “bahasa-bahasa manusia” bersifat hipotetik, sedangkan “bahasa-bahasa malaikat” aktual. Nampaknya Martin telah mengubah konstruksi bahasa Yunaninya. Dalam 1 Korintus 13.1, ean diikuti oleh modus subjungtif (orang ketiga, bersyarat). Robert H. Gundry menulis,

Bahkan hingga poin ini, bila seseorang terus membaca maka jelas bahwa berbicara dalam bahasa malaikat tidak mengindikasikan kenyataan faktual di dalam pikiran Paulus (Paulus menggunakan ean dalam subjungtif di sepanjang ayat 1-3 dan sangat mungkin bukan “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna . . . sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, . . . (1Kor. 13.2dab). sesungguhnya, Paulus tidak mengklaim memiliki semua karunia nubuat dan pengetahuan, atau memiliki semua iman atau membagi-bagikan segala miliknya atau menyerahkan tubuhnya dibakar (sebab ia masih menulis sepucuk surat!). Hal ini merupakan pernyataan “seandainya saja” dan benar untuk beberapa hal saja. Sama halnya, meskipun Paulus mengklaim berbicara dalam bahasa-bahasa, tidak perlu disimpulkan bahwa ia mengklaim berbicara di dalam bahasa malaikat. Faktanya, analogi atas ekspresi senada menyatakan bahwa ia tidak mengklaim melakukannya. Berbicara dalam bahasa malaikat senada dengan “segala” atau “seluruh” yang ada di kalimat-kalimat sesudahnya.

H. A. W. Meyer berbicara mengenai kontras antara “bahasa-bahasa manusia” dan “bahasa-bahasa malaikat” dan bahwa hal ini “is only supposed as an imaginary case to heighten the contrast”. Berarti, pendapat Martin di atas sudah ditentang! Konstruksi yang cermat atas 1 Korintus 13.1 yaitu bahwa bahasa-bahasa manusia itulah yang nyata, sedangkan bahasa-bahasa malaikat itu hipotetik sifatnya.

Paulus memiliki kemampuan yang nyata (berbicara dalam bahasa-bahasa manusia, bernubuat, memiliki iman, dan membagi-baginya harta miliknya), yang kemudian ia mengacu ke hal yang ekstrem (berbicara dalam bahasa-bahasa malaikat, mengetahui semua rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan, memindahkan gunung, menyerahkan nyawanya untuk dibakar) sebagai poin retorik dan praktis dari titik pandang yang sedang menjadi fokusnya, yaitu tanpa kasih, semua itu tak berguna. Bila ini merupakan analisis yang sah atas konstruksi bahasa Yunani 1 Korintus 13.1-3, kita sekarang mendapatkan kunci untuk memahami karunia menafsirkan atau menerjemahkan bahasa (1Kor. 12.10, 28, 30): yaitu kemampuan yang berkait erat dengan bahasa manusia. Sekali lagi, menyadari seting Korintus yang multibahasa, kita tak perlu terkejut bahwa ada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menguasai lebih dari satu dari bahasa, dan pekerjaan menafsirkan menjadi sangat penting dalam pikiran Paulus dan gereja di Korintus.

No comments:

Post a Comment