Tuesday, February 13, 2007

Baalisme dan Yahwisme Versi Modern 1

BAALISME DAN YAHWISME VERSI MODERN

Eugene H. Peterson
(disadur oleh Nindyo Sasongko)



Dalam pergumulan berjemaat di kancah persaingan gereja, banyak orang berbicara mengenai pembaruan ibadah. Bila mereka berbicara kepada saya, saya mencoba mendengarkan. Memang, tak jarang ibadah gereja terselenggara dengan buruk, mengecewakan orang Kristen dalam pertumbuhan rohaninya dan merusak kesaksiannya di dalam dunia. Yang jelas, ibadah begitu sentral dalam Gereja Kristen. Saya yakin bila ibadah dapat diperbaiki, maka manfaat akan kelihatan bertumbuh dari berbagai segi kehidupan. Saya sendiri “siap-berubah.”

Dalam modus demikian, begitu banyak orang di sekitar saya kemudian mencoba menasihati saya. Kritik berlimpah ruah; saran-saran membanjir. Saya didakwa terlalu kolot dengan mempertahankan bentuk-bentuk kuno yang tidak lagi ada artinya di dunia modern. Saya dipersalahkan untuk alasan melestarikan corak ibadah pinggiran di tengah-tenggah perubahan kaum perkotaan. Saya dicemooh karena melestarikan corak-corak konservatif di tengah-tengah zaman revolusioner. Sementara itu, para pakar telah siap, lengkap dengan wadah baru: musik rock, liturgi bebas, presentasi multimedia, gemerlap lampu hias, tari-tarian sakral, seni modern, dan dialog.

Dalam persimpangan jalan yang panas ini, saya sering gundah. Saya tahu betapa gampang untuk membuat perubahan dalam perasaan panik karena kurang ini dan itu, ketimbang oleh karena satu visi yang terang atas tuntutan firman Allah. Para penuduh memang lihai untuk membuat saya merasa tak lagi cukup; meski mereka tak cukup meyakinkan dalam eksposisi teks firman Allah. Perasaan was-was saya kian tinggi. Saya tak ingin sekadar berubah dalam gaya ibadah oleh sebab meniru-niru tren-tren kultural yang tidak memiliki kandungan teologis. Lalu, bagaimana saya menanggulangi berbagai nasihat itu? Bagaimana saya memilah-milah antara apa yang sekadar ngetren dan apa yang benar-benar berakar dari kebenaran? Saya tidak ingin “menikah dengan generasi ini, hanya untuk menjadi duda di generasi berikutnya.” Tetapi saya pun tak ingin bersikap keras kepala, dan keras membatu dalam urusan-urusan yang cuma segera masuk ke ruang pajang di museum.


I

Terperangkap dalam kebimbangan dan kebingungan ini, saya telah sangat tertolong dengan merefleksikan episode panjang perjalanan sejarah umat Allah, khususnya mengenai konflik antara Baalisme dan Yahwisme di antara orang Ibrani di Kanaan.

Akrab dengan episode sejarah ini, saya terbantu untuk memahami orientasi-orientasi spesifik bagi peribadahan umat. Khusus bagi pihak yang diserahi tanggung jawab dan kepemimpinan untuk mengarahkan ibadah, hal ini merupakan kasus sejarah yang penting untuk memahami sehat atau sakitnya suatu ibadah. Seseorang yang merasukkan pemahaman sejarah ini sampai ke tulang-tulangnya, akan mengerti bahwa pengalaman bersejarah ini merentang dalam periode berabad-abad tentang adanya kompetisi antara kultus bagi Baal dan ibadah di komunitas Yahweh, dan dari sini ia akan merenungkan percikan-percikan teologis dan liturgis sehingga bertumbuhlah keteguhan sikap untuk melestarikan inti pengalaman Kristen yang autentik atau sejati, sambil membenahi banyak hal di sana-sini agar ibadah yang berlangsung dapat dipertanggungjawabkan secara hati maupun akal budi.

Baalisme adalah ibadah orang-orang Kanaan pada masa Israel menduduki tanah itu di bawah pimpinan Yosua. Hal ini terus berlanjut dan menjadi ancaman yang kompetitif bagi ibadah Israel hingga masa Pembuangan. Pada masa-masa tertentu penyembahan ini berkembang, pada masa lain ditekan. Di waktu-waktu tertentu merekah dan mendominasi seluruh kebudayaan.

Penekanan Baalisme adalah pada keterhubungan psikofisik dan pengalaman subjektif. Jurang antara manusia dan Allah diretas dengan ritus-ritus yang mengharuskan penyembah melibatkan diri. Keagungan Allah yang menggentarkan, keadaan-Nya sebagai “Yang Lain,” dikawinkan dengan nafsu-nafsu religius dari para penyembah. Dewa yang digambarkan sebagai lembu, dewa anggur, dewi kesuburan menawarkan relevansi segera, dan mengisi kebutuhan-kebutuhan pribadi dengan jawaban-jawaban langsung yang meyakinkan. Hasrat-hasrat yang membakar jiwa dipenuhi dalam tindakan kultus dalam ibadah. Transendensi Allah dikalahkan dalam ekstase perasaan dan pengalaman rohani.

Keterlibatan inderawi ditonjolkan. Gambaran-gambaran mutlak perlu—makin tebal dan besar, makin berwarna-warni, makin sensasional, makin bagus! Musik dan tarian menjadi sarana untuk menarik orang dari kepelbagaian dan mengisapkan mereka ke dalam suatu tanggapan massal. Aktivitas seksual di dalam ibadah sering digunakan karena mencapai tujuan utama Baalisme hingga penuh. Seseorang terbenam dalam ekstase beserta seluruh inderanya, dalam suatu tempo religius.

Sebab itulah, pelacuran bakti (prostitusi sakral) menjadi ekspresi tertinggi dari Baalisme. Hal ini berakar dalam praktik-praktik homeopatik, yang dirancang untuk menambah tingkat kesuburan seseorang dan melunakkan kekuasaan ilahi dengan jalan keintiman seksual. Qadesh dan q’desha Kanaan merupakan standar yang mendukung ibadah kepada Baal (atau Asyera).

Sebagai contoh, tatkala Ahab mengimpor kultus Melkart, Yehu menyebutnya sebagai persundalan dan sihir (2Raj. 9.22). “Perzinahan” atau “persundalan” adalah kritik yang ajeg terhadap umat yang mulai coba-coba berkawin dengan bentuk-bentuk penyembahan Baalisme (Hos. 1.1dst.; Yer. 3.1dst.; Yeh. 16 dan 23; Amos 2.7; Hos. 4.13; Yer. 5.7; 13.27; 23.10; 23.14; Mik. 1.7).

Meski memang tudingan para nabi mengenai “persundalan” itu memiliki rujukan harfiah mengenai adanya prostitusi sakral dalam kultus Baal, namun artinya juga dapat meluas kepada keseluruhan teologi ibadah. Hal itu mengacu kepada ibadah yang mencari kepuasaan melalui pengekspresian diri sendiri, ibadah yang begitu enteng untuk menerima keinginan, hasrat dan nafsu para penyembahnya. “Persundalan” adalah suatu ibadah yang berucap, “Aku akan memberimu kepuasan. Kamu minta pengalaman-pengalaman religius? Aku akan memberikannya kepadamu. Kamu meminta kebutuhan-kebutuhanmu tercukupi? Aku akan melakukannya dalam bentuk-bentuk yang paling menarik bagimu.”

Kehendak Allah yang berdiri terpisah bahkan beroposisi dengan cita rasa, persepsi dan pemahaman manusia sama sekali tidak dikenal di dalam Baalisme, dan karena itu cepat-cepat akan dibuang. Baalisme adalah ibadah yang direduksi kepada keadaan rohani-eksistensial dari si penyembah. Pokok yang utama dari penyembahan ini adalah: harus menyenangkan, relevan dan menarik hati bagiku.

No comments:

Post a Comment