Friday, February 9, 2007

Renungan di Ulang Tahun ke-101 Dietrich Bonhoeffer

Bermenung di hari kelahiran seorang teolog muda yang pernah diproyeksikan akan menjadi sebrilian Karl Barth, namun harus menyelesaikan tugas di dunia di bawah rezim Nazi pada tahun 1945, Dietrich Bonhoeffer, entah mengapa . . . saya teringat kepada satu lagi dari Don McLean yang berjudul Starry, Starry Night; satu lagu yang telah menjadi klasik, yang sesungguhnya ditujukan kepada seorang artis seni rupa Vincent van Gogh, yang disinyalir menjadi kurang waras di hari menjelang kematiannya.

For they could not love you,
But still your love was true,
And when no hope was left inside
On that starry, starry night,

You took your life as lovers often do,
But I’ve could’ve told you, Vincent;
This world was never meant
For one as beautiful as you.

(interlude)

Like the strangers that you’ve met,
The ragged men in ragged clothes,
The silver thorn and bloody rose,
Lie cruched and broken on the virgin snow.

Now I think I know
What you tried to say to me,
And how you suffered for your sanity,
And how you tried to set them free;

They would not listen,
They’re not listening still,
Perhaps they never will!

Berapa banyak seminari dan sekolah tinggi teologi yang berani menjadi komunitas Finkenwalde? Yang tidak hanya belajar tentang teologi tetapi juga menghidupi teologi? Yang tidak sekadar menularkan ilmu, tetapi juga hidup? Yang tidak mementingkan jumlah dan fasilitas, tetapi mendidik orang sehingga terbentuk orang-orang seperti mendiang Dr. Eberhard Bethge, murid sekaligus sahabat Dietrich Bonhoeffer hingga kematiannya. Aagh, betapa tak banyak yang mendengar seruan bening dari hati Bonhoeffer!

Dan tatkala di penjara, Bonhoeffer menyerukan religionless Christians, seberapa banyak orang yang memprotes pikirannya? Berapa banyak dari para protestan itu yang merasa tak nyaman dengan kejujuran Dietrich yang membongkar kedok dan borok-borok orang-orang Kristen, para klerus berjubah hitam atau putih yang tiap-tiap minggu menaiki mimbar dan menjadi penyambung lidah kebenaran?

Aagh, bukankah lebih mulia menjadi religionless Christian?

Atau, menjadi ateis sekaligus Marxis!

Dietrich,
mereka tidak mau mendengar,
dan tetap tidak mendengar,
Mungkin mereka takkan pernah bersedia mendengar!

No comments:

Post a Comment