Monday, February 19, 2007

Collegium Pastorale



ADA APA DENGAN PARA HAMBA TUHAN DI GEREJA KAMI?



Hari ini Collegium Pastorale, tim penggembalaan di gereja kami mengadakan pertemuan. Kami berjumlah 13 orang. 7 orang pengerja gereja induk, 6 orang pengerja cabang. Hari Senin dipilih sebagai hari pertemuan. Kebiasaan ini telah berlangsung lebih dari 20 tahun.

Kami berjumpa untuk membahas teks yang akan dikhotbahkan untuk hari Minggu mendatang. Dan, bagian ini sangat mengasyikkan! Sebab banyak tinjauan yang masing-masing pribadi tampilkan. Ada yang reflektif, ada pula yang memakai pendekatan eksegetikal—bahkan kritik-kritik modern—ada pula yang menarik relevansi untuk masa kini. Dengan demikian, pandangan bahwa hal-hal teologis-eksegetikal itu tidak diperlukan ketika di ladang, tidak lagi berlaku, paling tidak bagi kami. Pertemuan CP, bagi sebagian besar hamba Tuhan di gereja ini, adalah pertemuan yang paling dinanti-nantikan untuk memperkaya khasanah dan persiapan pewartaan sabda.

Kami duduk semeja, melingkar, dan bergiliran memimpin renungan singkat berkenaan dengan teks, biasanya merupakan hasil penggalian atau refleksi. Kemudian, rekan-rekan memberi tanggapan. Oh, pendapat bisa sangat berlainan. Kadang satu dengan yang lain tak sepaham. Bisa pula yang satu meluruskan yang lain, tak peduli jauh lebih junior. Yah tentu, cara untuk mengomunikasikannya sudah sepatutnya santun. Diskusi selalu diwarnai dengan gelak tawa. Keseriusan yang dikemas dengan canda tawa di antara kolega. Namun, yang membuat kami terus gembira adalah para senior kami terbuka dan memberi kesempatan kepada para junior untuk mengemukakan pendapat.

Betapa kami merasakan kekeluargaan di sini. Tidak ada rasa curiga atau ketakutan tergeser oleh rekan kerja. Koordinator CP, yang kami sering sebut sebagai rector, adalah seorang yang kebapakan, bersahaja, rendah hati, dan melindungi rekan kerja. Beliau menyadari diri keterbatasan kapasitas untuk menggali Alkitab, dan tak malu untuk bertanya kepada juniornya.

Selepas menggali dan mendiskusikan Alkitab, kami membahas seputar penggembalaan di induk maupun di cabang-cabang. Ahh, betapa banyak masalah yang diungkapkan. Setiap masalah belum tentu mendapatkan jawaban secara langsung; tetapi bagi kami, di situlah tempat untuk dapat mencurahkan beban dan pergumulan, baik keluarga maupun kehidupan berjemaat.

Satu contoh. Saat ini, seorang rekan yang melayani di cabang yang posisinya di atas pegunungan kapur Utara Jawa Tengah sedang menghadapi masalah yang berat. Jemaat pecah. Beberapa orang membelot dan tidak mau bergabung kembali dengan gereja. Betapa banyak tuntutan yang diajukan oleh kelompok pemecah ini, yang dalam hemat saya intinya hanya satu: mereka yang membelot hanya ingin dianggap sebagai yang dituakan di antara jemaat lain, alias masih mau menjadi pengurus. Sementara banyak jemaat yang sudah meragukan kredibilitas pihak ini. Singkat kata, tuntutan itu dilancarkan kepada sang gembala, sehingga beliau dan istri mengalami tekanan batin yang sangat berat. Belum lama berselang, mereka sama-sama sakit dengan diagnosis penyakit yang tidak diketahui. Beliau segera berpikir, hal itu pasti akibat santet, sebab di desa itu masih kuat okultismenya. Bukan hanya itu, dalam batin rekan kami ini yang terpikirkan adalah: kegagalan dalam pelayanan.

Untunglah beliau mau terbuka dengan kami, sehingga kami pun bersama-sama menyatakan dukungan kepada beliau. CP sepakat untuk mengusulkan kepada Majelis Jemaat agar beliau diberi cuti khusus untuk lepas dari rutinitas penggembalaan, dan berada di bawah bimbingan seorang pakar pastoral di salah satu sekolah teologi di Jawa Timur.

Contoh lain. Cabang kami yang lain lagi tengah menghadapi penutupan persekutuan. Warga desa tidak memperbolehkan lagi rumah yang didiami oleh pendeta yang tinggal di desa itu untuk dipakai sebagai tempat bersekutu. Masalah makin rumit karena berkas surat yang dahulu ditandatangani oleh mantan bupati hilang lenyap bak ditelan bumi. Pak pendeta sangat bergumul, bersama dengan warga binaannya di daerah itu. Hal ini pun disyeringkan dalam pertemuan CP. Sikap kami sebagai CP adalah terus memberikan dukungan moral kepada beliau, agar jemaat dan beliau jangan sampai patah semangat. Terbukti, tiap kali pertemuan, bila beliau hadir ada saja rekan yang menanyakan kemajuan usaha dan pergumulan di persekutuan ini. Saat ini, Tuhan mulai bukakan titik-titik terang adanya jalan keluar. Ya, bila semua pintu tertutup, masih ada jendela yang terbuka. Namun bila pintu dan jendela tertutup pun, udara tetap dapat masuk melalui lubang-lubang kecil. Puji Tuhan!

Itulah sekilas mengenai Collegium Pastorale. Satu kata yang menunjukkan identitas kami adalah: KOLEGIALITAS! Apakah kata ini ditemukan pula di persekutuan atau gereja lain? Harapan kami demikian. Sambil kita menantikan datangnya Kerajaan Allah. Amin.

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment