Monday, May 21, 2007

Apakah Mennonite Percaya Predestinasi 2: Definisi


DEFINISI PREDESTINASI

Dari ayat-ayat di atas, kita dapat menyarikan konsep predestinasi sebagai berikut. Predestinasi selalu bersandingan dengan “pemilihan” atau “pengetahuan Allah sebelumnya.” Maksudnya, Allah, dalam segala kekayaan kemahatahuan-Nya, telah mengetahui bagaimana tiap-tiap individu akan menanggapi penawaran Injil, dan telah menentukan untuk kehidupan kekal mereka yang Ia telah ketahui sebelumnya akan merespons dengan segenap iman dan ketaatan.
[1]

Dari kalimat di atas, kita menemukan premis-premis sebagai berikut:

1. Allah yang berdaulat adalah Pribadi yang mahatahu. Kemahatahuan Allah menyatakan bahwa Ia sudah memahami secara tuntas apa yang akan terjadi di ujung sejarah. Jelaslah demikian, sebab Dialah yang menjadikan segala sesuatu.

2. Allah sudah mengetahui bagaimana tanggapan masing-masing individu atas pemberitaan Injil keselamatan.

3. Pengetahuan Allah tidak mungkin diceraikan dari kehendak-Nya. Di dalam pengetahuan Allah, terdapat kehendak Allah. Ketika Allah mengetahui apa yang akan terjadi, dengan sendirinya Allah menghendaki sesuatu itu terjadi, dan pasti akan terjadi.

4. Allah menentukan sekelompok orang sehingga mereka menanggapi pemberitaan Injil dengan iman dan ketaatan, dan mereka ini menerima anugerah keselamatan.

Ajaran predestinasi dikembangkan oleh St. Agustinus (354-430), teolog dari Hippo, Afrika Utara, yang sangat dihormati oleh Gereja Katolik Roma sampai sekarang. Agustinus mempercayai bahwa bila sungguh-sungguh ada keselamatan bagi manusia, maka hal itu harus datang oleh sebab inisiatif Allah. Anugerah Allah mencari, memulihkan, menyelamatkan serta menjaga orang-orang percaya. Tetapi, mengapa ada orang yang percaya dan ada yang tidak? Agustinus menjawab pasti bukan berasal dari manusia. Alasan mengapa ada sebagian orang berdosa diselamatkan dan yang lain tidak pastilah pada Allah saja. Hal itu terjadi pasti menurut tujuan Allah yang berdaulat, ketetapan kekal-Nya, bahwa sebagian orang ditolong dari dosa dan yang lain tetap ditinggalkan dalam dosa-dosa mereka.
[2]

Jadi, tidaklah benar bila ajaran ini dianggap merupakan temuan Calvin. Bahkan sebelum Calvin menulis uraian mengenai predestinasi, reformator seniornya dari kota Strassbourg, Perancis, Martin Bucer (1491-1551), telah menuliskannya dalam tafsiran Surat Roma.
[3] Demikian pula pembaru yang lebih senior lagi, Yohanes Oecolampadius (1482-1528) dari Basel, Swis. Kedua orang ini jelas bukan Calvinis, tetapi tak diragukan lagi, Calvin berutang banyak dari mereka. Bucer mewariskan semangat sebagai gambala yang mengasihi domba-domba Kristus. Sedangkan Oecolampadius menjadi teladan bagi Calvin untuk menafsirkan Alkitab secara cermat dan penuh kepatuhan.[4] Bila demikian, ajaran predestinasi tidak unik pada zaman Calvin, tetapi para pendahulunya, termasuk Martin Luther, juga memeluk doktrin ini. Jadi, doktrin ini umum dipeluk oleh para pembaru gereja pada zaman itu.

[1]W. R. Godfrey, “Predestination,” New Dictionary of Theology, ed. S. B. Ferguson et al. (Downers Grove: InterVarsity, 1988), 528.
[2]Lihat Mathijs Lamberigts, “Predestination,” Augustine Through the Ages: An Encyclopedia, ed. A. D. Fitzgerald, O. S. A. (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), 677-79.
[3]Lihat J. L. Ch. Abineno, Bucer dan Calvin: Suatu Perbandingan Singkat (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 49-65.
[4]R. C. Zachman, John Calvin as Teacher, Pastor and Theologian: The Shape of His Writings and Thought (Grand Rapids: BakerAcademic, 2006), 15-27.

No comments:

Post a Comment