Monday, September 15, 2008

KRISTOLOGI SELAYANG PANDANG (1)



RELIABILITAS KESAKSIAN-KESAKSIAN



A. Dokumen-dokumen Perjanjian Baru



Yesus Kristus adalah tokoh historis. Ia benar-benar hidup di atas dunia. Ia adalah manusia. Karena itu, kehidupan-Nya dapat diketahui melalui berbagai-bagai data dan bukti yang dapat diketahui. Bukti dan data paling kuat untuk menyelidiki siapa sebenarnya Yesus Kristus adalah dokumen-dokumen Perjanjian Baru (PB). Adalah benar bahwa dokumen-dokumen ini dibuat dan beredar di kalangan Kristen. Adalah benar pula bila dokumen-dokumen ini dibuat oleh pihak-pihak yang mengakui Yesus sebagai Tuhan. Pertanyaannya, apakah dengan begitu dokumen PB reliabel (dapat diandalkan) sebagai sumber untuk memahami Yesus Kristus? Apakah objektif untuk memakai data dari PB?



Misalnya Anda mau mengerti apa yang sedang terjadi kemarin. Apa yang Saudara kerjakan? Saudara pasti mengambil satu surat kabar, dan yang pertama kali tertangkap oleh mata Saudara adalah artikel yang ditulis dengan judul besar. Apakah Saudara dapat mempercayainya? “Ah, pasti betul! Wong saya sedang baca surat kabar!” hal ini adalah suatu kekonyolan. Siapa pun tahu, bahwa separuh lebih dari berita yang kita terima melalui media massa sudah terdistorsi. Cobalah ambil surat kabar yang lain, dan bandingkan, sangat mungkin berita yang satu berbeda dengan berita yang lain. Bahkan tak jarang, berita itu dibuat dengan sedikit fiktif. Itulah sebabnya, setiap berita di internet tidak dapat dipercayai 100%. Tetapi bagaimana pun juga, Saudara membutuhkan berita itu, bukan?



Banyak orang yang mencoba memperlakukan Alkitab sama seperti memperlakukan surat kabar. Banyak orang mengasumsikan bahwa isi Alkitab sepenuhnya merupakan fakta-fakta mentah. Ketika kemudian menemukan sesuatu yang janggal, dan “kontradiktif,” ia menjadi undur. Demikian pun ketika orang membaca data mengenai Kristus. Mereka langsung skeptis oleh sebab PB ditulis oleh orang-orang yang berpihak kepada Yesus! Mereka menemukan keempat Injil berbeda satu sama lain.



Seorang penafsir Alkitab yang ternama, F. F. Bruce (alm.), menulis, “It is foolish to regard their evidence as suspect because they were produced within the society which confess Jesus as Lord.[1] Dia yang adalah seorang pakar dokumen kuno dan menjadi profesor eksegesis di Universitas Manchester mengatakan bahwa dokumen-dokumen PB itu mirip memori atas seorang pemimpin ternama, yang dikenang dan dilestarikan oleh para pengikutnya serta orang-orang yang melawan dia. Kita mengenal Sokrates dari Plato dan Xenofones, dua orang murid yang masing-masing bertolak belakang. Jika kita ingin merekonstruksi Sokrates, adalah mustahil bila mengabaikan kesaksian Plato dan Xenofones hanya oleh sebab mereka berdua adalah muridnya. Kita membutuhkan data dari keduanya, dan dengan membandingkan keduanya maka kita dapat menyarikan ajaran-ajaran sang guru serta menarik implikasi-implikasinya. Satu lagi potret Sokrates disajikan oleh Aristofanes dalam drama komedinya Awan-awan. Ia menentang Sokrates. Akan tetapi, kenangannya akan Sokrates sangat diperlukan untuk mengenal Sokrates lebih baik lagi.



Tulisan paling mula-mula di PB yaitu tulisan rasul Paulus. Paulus tidak pernah mengenal Yesus yang historis. Akan tetapi, Paulus mengenal orang-orang yang mengenal dan hidup bersama Dia. Kira-kira lima tahun setelah kematian Yesus, Paulus tinggal di Yerusalem selama dua Minggu. Ia tinggal bersama Petrus, dan berjumpa dengan Yakobus, saudara Yesus (Gal. 1:18, 19). Paulus tidak menulis Injil satu pun, seperti empat orang penginjil, tetapi di dalam surat-suratnya ia dapat menggambarkan pengetahuannya akan apa yang Kristus lakukan dan katakan. Lebih dari sekali, ia mengingatkan jemaat yang ia layani bahwa nasihat-nasihat yang ia sendiri “terima.”



Perlu kita sadari juga, bahwa para penulis PB bukanlah burung beo. Mereka adalah pengkhotbah. Mereka ini pemberita-pemberita Injil. Sehingga, data-data mengenai Yesus yang mereka kenang, khotbahkan, dan catat, bukan kumpulan data-data mentah, tetapi disaring dan disarikan untuk mendukung kebenaran mengenai Dia. Contoh yang jelas adalah Surat Ibrani. Kita tidak tahu siapa penulisnya. Dulu pernah diduga, Pauluslah yang menulis. Namun akhirnya, hipotesis ini ditolak. Penulis Ibrani lebih tepat dipandang sebagai seorang pengkhotbah, ketimbang penulis surat. Ia menyeleksi data, untuk mengemukakan Yesus Kristus sebagai Imam Besar yang tertinggi, yang setia dan yang memberikan anugerah kepastian keselamatan bagi kaum-Nya. Sang pengkhotbah tidak asal-asalan menyalurkan data yang diperolehnya.



B. Keempat Injil



Kita beruntung memiliki keempat Injil! Injil-injil ini telah menjadi target analisis dan kritik selama lebih dari dua abad terakhir. Ya, Injil-injil merupakan dokumen yang paling gencar diserang dan paling banyak dibedah dibandingkan dengan literatur apa pun yang ada di dunia.[2]



Injil dapat diselidiki dari analisis historis. Konteks kehidupan Yesus adalah orang-orang Yahudi di Palestina, dengan ragam budaya Romawi yang menjadi latarnya. Oleh karena Yesus adalah seorang yahudi, maka semua yang Ia katakan perlu kita kaji dari latar belakang-Nya sebagai seorang Yahudi. Oleh sebab itu, mempelajari mengenai latar kehidupan orang Yahudi pada zaman Yesus adalah sesuatu yang perlu dilakukan.



Metode tafsir yang disebut sebagai kritik sastra adalah suatu kajian yang sangat menggairahkan, oleh sebab jika disimak secara cermat, ada kemiripan-kemiripan di dua bagian atau lebih, dari keempat injil tersebut. Khususnya Injil Matius, Markus dan Lukas, memiliki materi yang nyaris sama, dan isinya dapat dibuat dalam tiga kolom berparalel. Di situ kita dapat melihat apa yang sama dan apa yang unik, yang dimiliki oleh ketiga injil. Inilah sebabnya, ketiganya disebut sebagai “Injil Sinoptik.” Kesimpulan yang diperoleh dari studi ini yaitu, Injil Markus merupakan sumber bagi Injil Matius dan Lukas. Lalu Matius dan Lukas memiliki sumber lain yang sama, yang kerap disebut sebagai Q (Jerman Quelle = sumber), yang kemungkinan disusun sebagai buku panduan untuk misi kepada orang-orang non-Yahudi pada sekitar tahun 50 M. Kita tidak memiliki dokumen Q, tertulis maupun lisan. Namun adanya suatu tradisi oral yang dipelihara oleh gereja bolehlah kita yakini, dan ini menjadi sumber bagi penulisan Injil Matius dan Lukas.



Ada lagi analisis yang dipakai untuk memahami Injil, yaitu apa yang disebut sebagai kritik tradisi dan kritik redaksi. Tradisi yang dimaksudkan adalah materi Injil yang diterima oleh para penulis Injil; redaksi mengacu kepada bagaimana pengelolaan para penulis Injil itu terhadap materi yang mereka terima. Penulis Injil bukan seperti mesin pemotong rumput, yang memangkas apa saja lalu dikumpulkan menjadi satu. Mereka adalah penulis yang bertanggung jawab. Tiap-tiap orang memiliki pandangan serta tujuannya. Kritik tradisi bertujuan melacak materi dari tradisi oral tentang Yesus Kristus, sebelum tradisi itu dituliskan dalam bentuk seperti yang kita terima saat ini; kritik redaksi menitikberatkan perhatian kepada bentuk yang dinyatakan oleh masing-masing Injil.



Injil Markus



Markus ditulis sebagai Injil yang pertama. Tujuannya yaitu menguatkan orang-orang Kristen di Roma yang menjadi korban fitnahan Nero yang tiba-tiba membakar kota Roma pada tahun 64, dan membuat orang-orang Kristen sebagai tumbal. Dengan jalan ini, mereka layak menjadi target penyiksaan. Dalam keadaan kalut dan disorientasi ini, mereka memerlukan sebuah dasar yang kokoh untuk menerangkan identitas mereka. Markus sebagai traktat singkat yang mengangkat hal pelayanan dan semangat dari sang pemimpin besar bertujuan untuk meneguhkan kesetiaan/loyalitas mereka, serta mengajak mereka untuk menjadi penantang dunia yang kejam dan bengis terhadap mereka. Injil ini mengingatkan mereka bahwa menderita bagi Kristus bukanlah sesuatu yang aneh atau tidak wajar, tetapi sesuatu yang pasti datang. Yesus tidak hanya menekankan berulang-ulang mengenai pentingnya kesengsaraan-Nya, tetapi juga kepastian dari mereka yang telah ditentukan untuk mengikut Dia, bahwa mereka harus “memikul salib” dan mengikut Dia.



Injil Matius



Injil ini disusun dengan rapi, seperti buku pegangan sekolah. Karakteristik mendasar dari Matius adalah lima bagian yang berisikan khotbah-khotbah Kristus. Di akhir Injil ini, Yesus menitahkan para murid untuk pergi dan memuridkan segala bangsa (Mat. 28:19-20). Para guru Kristen di generasi-generasi berikutnya sangat terbantu dengan adanya Injil Matius ini, karena susunan Matius memudahkan mereka mengajar gereja.



Injil Lukas



Injil ini mengoleksi satu sejarah Kekristenan awal dalam dua jilid (satunya lagi kita kenal sebagai Kisah Para Rasul). Hal ini diperlukan pada suatu masa ketika Kekristenan mulai menjadi daya tarik bagi orang-orang di kebudayaan Roma. Ada sejumlah catatan yang telah beredar, dan Lukas berketetapan hati untuk membuat catatan yang ditil tentang kelahiran dan perkembangan Kekristenan (Luk. 1:1-4).



Injil Yohanes



Ditulis pada akhir abad I M., memiliki elemen teologis dibandingkan ketiga injil lainnya. Bukan berarti pemahaman teologis tidak ada di dalam ketiga injil (seperti Markus menyebutkan Yesus sebagai “Anak Allah.”) Yohanes memberikan kesaksian khusus bahwa Yesus adalah “Firman yang menjadi manusia.” Di dalam Dia, hikmat Allah yang kekal telah menjadi seorang manusia yang hidup di atas dunia. Inilah yang disampaikan Yohanes di prolognya (1:1-18), dengan harapan bahwa bagian-bagian Injil berikutnya dipahami dalam terang ini. Namun demikian, tulisan ini adalah “injil” dan bukan buku teologi sistematika. Maka, penafsiran teologisnya selalu ditempatkan di dalam kerangka historis. Yohanes dengan sengaja menitikberatkan pada pelayanan yang spesifik dari Yesus. Apabila ketiga Injil Sinoptik memotret pelayanan Yesus di Galilea, maka Yohanes memfokuskan pandangan pada kiprah Yesus di Yerusalem dan kota sekitarnya. Namun sama seperti yang lain, pelayanan Yesus diawali oleh kiprah Yohanes Pembaptis di lembah sungai Yordan, dan berakhir pada kematian Yesus di Yerusalem; dan di tengah-tengahnya terdapat catatan mengenai para murid (khususnya Petrus) setelah Yesus memberi makan 5000 orang.




[1]F. F. Bruce, The Real Jesus (London: Hodder & Stoughton, 1985), 23.

[2]Simak Richard Bauckham, Jesus and the Eyewitnesses: The Gospel as Eyewitnesses Testimony (Grand Rapids: Eerdmans, 2006). Tesis Bauckham meruntuhkan pandangan-pandangan yang beredar selama dua abad terakhir, khususnya dari pemikiran sarjana-sarjana kritis, bahwa Injil ditulis tanpa pemahaman yang cukup dari para penulisnya. Ia membuktikan, bahwa Injil ditulis berdasarkan keterangan orang-orang yang berhubungan langsung dengan Yesus. Lihat juga buku Graham Stanton, The Gospels and Jesus, 2nd. Edition (Oxford: Oxford University Press, 2002). Buku ini adalah pengantar yang sangat baik mengenai natur Injil dan bagaimana terbentuknya Injil.



No comments:

Post a Comment