Saturday, September 20, 2008

PERDAMAIAN DENGAN SEMUA ORANG (4)



Belajar Berdamai: Kisah-Kisah Sederhana



Pertama, seorang hamba Tuhan sedang belajar untuk berdamai. Suatu kali, dia mendengar seorang aktivis tersinggung dengan apa yang dia lakukan, yang menurut aktivis itu, sang hamba Tuhan telah bersalah terhadap dia dan keluarganya. Sewaktu hamba Tuhan ini berkhotbah, sang aktivis itu sama sekali tidak mau melihat ke dia. Kalau tidak menunduk, ia melihat keluar.



Sang hamba Tuhan semula tidak terlalu memperhatikan kejadian itu. Dari penuturan seorang majelis jemaat selepas ibadah, sang hamba Tuhan mendengar bahwa aktivis itu sedang tersinggung dengan dia. Ia menjadi bergumul, tentang apa yang harus ia kerjakan. Akankah ia datang kepadanya? Minta maaf? Untuk kesalahan apa?



Peristiwanya yaitu pada waktu anaknya merayakan Sweet-Seventeenth. Hamba Tuhan ini diminta datang. Tepat dengan peristiwa itu, ada retret remaja di Bandungan, Ambarawa. Ia tentu tidak dapat meninggalkan anak-anak binaannya begitu saja. Tetapi aktivis itu meminta dengan sangat, dan memintanya untuk menaikkan doa makan. Undangan jam 18.00 tepat. Ternyata, hamba Tuhan itu tidak ada jadwal pada jam itu. Ia turun dari Bandungan, menuju ke tempat perayaan. Ternyata, perayaan baru dimulai pukul 19.30. Sang hamba Tuhan mulai panik. Perkiraan makan malam akan berlangsung pukul 20.00, sementara pukul 21.00 dia sudah harus ada di Bandungan karena memimpin sesi doa malam. Ia tidak mungkin meninggalkan remaja-remaja binaannya berada di Bandungan tanpa pembina. Maka ia cepat-cepat minta diri kepada tuan rumah. Dari situlah timbul masalah.



Mengenang peristiwa itu, hamba Tuhan itu berpikir, ia tidak bersalah. Ia mau mengurungkan niat untuk meminta maaf! Tetapi hatinya tidak tenang. Fakta di depan mata, adalah sang aktivis itu sudah tersinggung dengan tindakannya. Ini bukan masalah siapa yang benar, siapa yang salah, tetapi adanya perasaan terluka oleh tindakannya, meskipun ia merasa tidak bersalah. Akhirnya, ia bertekad untuk datang ke rumah aktivis itu, meminta maaf bila tindakannya itu telah menyinggung perasaan keluarga. Dari keberanian untuk meminta maaf itu, hubungan yang tadi retak dapat pulih, menjadi baik kembali.



Kedua, seorang muda, yang baru lulus dari sekolah teologi mendengar kabar bahwa seorang penatua jemaat tersinggung dengan sikapnya. Penatua itu menceritakan kepada rekan dan koleganya dalam kemajelisan mengenai keburukan-keburukan hamba Tuhan itu, dengan berapi-api dalam kemarahan. Mulailah persepsi-persepsi terbangun.



Orang muda itu mendengar. Ia menjadi tidak nyaman karena hari Minggu ini, ia akan berkhotbah. Mungkinkah dia sanggup berkhotbah tentang kasih, bila masih ada orang yang tersandung dengan tindakannya? Jangan-jangan dia dianggap NATO (No Action, Talk Only), atau kata orang “Jarkoni” (isa ngajar, ora isa nglakoni)! Ia tidak mau berita firman Tuhan terhambat hanya oleh karena ada saudara yang tersandung dengan dia.



Hari Kamis malam, ia mengambil waktu untuk berdoa, meminta pimpinan Tuhan. Dan Tuhan membisikkan perkataan Matius 5:23-24 itu ke dalam hatinya. Pukul 19.00, ia bergegas ke rumah penatua itu. Seorang diri ia menaiki kendaraan menuju rumah penatua, yang jaraknya lebih kurang 3 kilometer. Ia diterima secara pribadi, dan langsung diajak untuk masuk ke ruang bacanya. Hamba Tuhan itu memulai bercerita tentang maksud kedatangannya. Ia meminta maaf bila ada kata dan tindakan yang menyinggung perasaan sang penatua. Di luar dugaan, penatua itu menjawab dengan lirih dan sungguh-sungguh keluar dari hatinya. Ia pun gantian meminta maaf! Pertemuan malam itu pun diakhiri dengan doa bersama, dengan kedua tangan orang ini saling berpegangan, keduanya saling mendoakan. Air mata tak terasa mengalir ke luar. Sungguh-sungguh terjadi pemulihan dan pengampunan, bahkan rekonsiliasi.



Hari Minggu pun tiba. Pagi hari, sang hamba Tuhan itu tiba di gereja. Selang tak lama kemudian, penatua itu tiba di gereja beserta keluarganya. Ia langsung menemui sang hamba Tuhan dan mengatakan, “Selamat berkhotbah!” sambil menepuk bahu kirinya. Sepanjang ibadah, penatua itu duduk di depan. Ia memperhatikan dengan penuh perhatian. Di akhir ibadah, ia langsung menemui hamba Tuhan itu di depan mimbar, menjabat tangannya dengan erat dan berkata, “Thank you, saya mendapat berkat dari khotbahnya!”



1 comment: