Sunday, April 27, 2008

GELAR THEOTOKOS BAGI MARIA (3)


KONSILI EKUMENIS KETIGA

Secara resmi, penggunaan kata Theotokos ditegaskan pada Konsili Ekumenis Ketiga yang diadakan di Efesus pada 431 M. Pandangan lawan, yang dianjurkan oleh Patriakh Nestorius dari Konstantinopel, yakni bahwa Maria seharusnya disebut Christotokos, yang berarti “Yang mempersalinkan Kristus,” untuk mempersempit perannya hanya kepada kemanusiaan Kristus saja dan bukan pada natur ilahi-Nya.

Lawan Nestorius, yang dipimpin oleh Sirilius dari Aleksandria, memandang Nestorius telah memisahkan Yesus ke dalam dua pribadi yang berbeda, yang manusia adalah Anak Maria, dan yang ilahi bukan. Bagi golongan Sirilius, hal ini tidak dapat diterima karena dengan menghancurkan kesatuan sempurna dari dua natur Kristus, natur ilahi dan kemanusiaan-Nya, maka hal ini akan menyabotase keutuhan berita Inkarnasi, dan dampaknya yang lebih luas kepada keselamatan umat manusia. Konsili menerima penalaran Sirilius, dengan menetapkan gelar Theotokos bagi Maria, dan meng-anathema-tisasi (mengutuk) pandangan Nestorius sebagai bidah.

Dalam surat-surat kepada Nestorius yang disertakan dalam dokumen-dokumen konsili, Sirilius menerangkan doktrin ini. Ia menerangkan bahwa

para bapa suci . . . telah sangat berhati-hati untuk memanggil Sang Dara Kudus [T]heotokos, bukan seolah-olah natur sang Firman atau keilahian-Nya baru diperoleh sejak semula dari Sang Dara, tetapi sebab dari dialah terlahir tubuh-Nya yang kudus, yang secara rasional mengejawantah dengan suatu jiwa, dan dengan tubuh itulah Sang Firman dipersatukan menurut hypostasis, dan dikatakan telah diperanakkan menurut daging (Surat kedua Sirilius kepada Nestorius).

Sewaktu menerangkan penolakan Sirilius terhadap gelar Maria yang lebih disukai Nestorius (Christotokos), Sirilius menulis,

Dengan mengaku Firman itu dipersatukan dengan daging menurut hypostasis, kami menyembah satu Putra dan Tuhan, Yesus Kristus. Kami tidak memilah-Nya menjadi bagian-bagian dan memisahkan manusia dengan Allah seolah-olah keduanya dipersatukan satu sama lain [hanya] melalui suatu kesatuan kehormatan dan otoritas . . . ataupun kami menyebut dengan terpisah Kristus Sang Firman dari Allah, dan dalam hal yang sama, Kristus yang lain dari sang perempuan, tetapi kami mengenal hanya satu Kristus, Firman dari Allah Bapa dalam tubuh-Nya sendiri . . . Tetapi kami tidak mengatakan bahwa Firman dari Allah tinggal seperti seorang manusia biasa terlahir dari seorang dara suci . . . maka terdapat satu Kristus dan Putra serta Tuhan, bukan dalam arti konjungsi (bersama dengan) bahwa seorang manusia dapat bersekutu dengan Allah dalam harkat dan otoritas; sebab kesetaraan kehormatan tidak menyatukan natur-natur. Sebagaimana halnya Petrus dan Yohanes masing-masing natur setara dalam kehormatan, keduanya adalah rasul dan murid yang kudus, tetapi keduanya bukan satu. Atau kami pun tidak memahami arti konjungsi itu seperti suatu persandingan, sebab hal ini tak cukup dalam kaitan dengan persatuan natural. . . kami juga menolak istilah “konjungsi” dan tidak cukup untuk mengungkapkan persatuan itu . . . Sang Dara kudus memperanakkan Allah di dalam daging yang dipersatukan dengan daging menurut hypostasis, dan karena alasan inilah kami memanggilnya Theotokos . . . Jika, ada orang tidak mengakui bahwa Sang Imanuel adalah, sesungguh-sungguhnya, Allah dan oleh sebab itu sang dara kudus itu Theotokos (sebab Ia mempersalinkan dalam daging Firman dari Allah yang menjadi manusia), terkutuklah ia.” (Surat ketiga Sirilius kepada Nestorius).

Pada akhir hidupnya, Nestorius pun menyetujui gelar Theotokos, dan menyatakan pertukaran yang nampak antara atribut-atribut Kristus (communicatio idiomatum).

KESIMPULAN

Menyebut Maria sebagai Theotokos bukanlah meng-ilah-kannya. Ia adalah Theotokos karena terkait secara langsung dengan Kristus! Ia yang melahirkan Yesus Kristus yang adalah Allah-manusia. Gelar ini merupakan penegasan dari Inkarnasi Sang Putra, dan tempat yang terutama tetaplah Sang Putra Allah! Siapa yang disembah, dimuliakan dan ditinggikan? Yesus Kristus!

Lalu bagaimana dengan devosi-devosi kepada Maria? Baik orang Katolik maupun Ortodoks pasti tidak akan pernah setuju dengan anggapan sebagian besar orang Kristen bahwa mereka memuja-muja Maria sama seperti terhadap Tuhan Yesus. Marilah kembali kepada sejarah Gereja, bahwa Maria gereja perdana mendapatkan tempat yang penting di dalam gereja, sebagai “Yang mempersalinkan Allah”; ia diberi kehormatan untuk mengandung dan melahirkan Sang Putra Allah. Bahkan sanaknya sendiri, Elisabet, mengucapkan pengakuan tersebut. Kesiapsediaannya untuk menjadi sarana Allah merupakan teladan bagi umat manusia. Pengakuannya sebagai hamba Allah merupakan kerendahan diri sebagai umat Allah yang sejati. Kedekatannya kepada Kristus sampai di bawah kayu salib merupakan teladan jiwa seorang murid.

Ada aspek yang kita telah lupakan sama sekali sebagai kaum Allah yang berlatar belakang Injili! Para murid Tuhan yang telah mendahului kita, memang mereka telah wafat secara badani, tetapi jiwa mereka tetap hidup! Mereka sedang bersukacita dalam hadirat Allah, menikmati persekutuan dengan Allah dalam kebahagiaan yang tak terperi. Sementara kita yang masih ada di dunia belum menikmati kebahagiaan ultimat seperti itu! Iman kita masih jatuh bangun dalam lautan kehidupan yang kerap menakutkan! Itulah sebabnya mengapa kita melihat banyak patung di Gereja Katolik, dan banyak ikon orang-orang kudus di Gereja Ortodoks. Itu semua bukan berhala untuk disembah, tetapi menjadi tanda pengingat bagi kita bahwa mereka yang pernah hidup mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah, kini telah berada di hadirat Allah yang mulia! Mereka menyanyikan pujian! Mereka menaikkan doa-doa yang tiada putus-putusnya di sekitar takhta Allah. Mereka mendoakan kita! Mereka mengingat kita! Tidakkah kita ketahui bahwa ketika kita menyanyikan pujian pengagungan kepada Allah, pujian kita berpadu dengan para kudus di surga, bahkan dengan segala makhluk surgawi? Maka bukankah sama bila kita katakan, pada saat kita berdoa, maka doa kita pun bertemu dan berdekapan dengan doa-doa para kudus dan martir-martir iman yang menjadi saksi Injil, kemudian naik sampai ke hadirat Allah yang Mahasuci itu?

Salah satunya adalah Maria! Maria telah wafat. Tetapi jiwanya tetap hidup di hadirat Allah. Ia pun menaikkan pujian kepada Allah dan Sang Putra, serta memanjatkan doa-doa bagi semua orang kudus yang berada di bumi. Di surga kelak kita pun akan berjumpa dengan dia, dan predikat bahwa dialah yang telah mempersalinkan Kristus tidak akan pernah dihapus dari memori kehidupan umat Allah selama-lamanya!

TEPUJILAH ALLAH!

GELAR THEOTOKOS BAGI MARIA (2)


THEOTOKOS ATAU “BUNDA ALLAH”?

Theotokos adalah gelar Maria, ibunda Yesus yang dipakai secara khusus dalam tradisi Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental dan Gereja-gereja Katolik Timur. Terjemahan harfiahnya adalah yang melahirkan Allah dan seseorang yang memperanakkan Allah, terjemahan yang lebih bebas adalah “Bunda Allah.” Konsili Efesus tahun 431 menetapkan bahwa Maria adalah Theotokos oleh sebab putranya Yesus adalah satu pribadi yang adalah Allah dan manusia, ilahi serta manusiawi.

Secara etimologis, Theotokos merupakan satu kata majemuk dari 2 kata Yunani, Theos, “Allah” dan tokos, persalinan, kelahiran. Secara harfiah yang melahirkan Allah dan seseorang yang memperanakkan Allah. Namun oleh karena banyak Gereja Ortodoks menjumpai penerjemahan ini tidak enak kedengarannya, maka dalam liturgi kata Theotokos sering dibiarkan tanpa terjemahan, atau diparafrasekan sebagai Bunda Allah (Inggris Mother of God). Namun, istilah terakhir ini pun adalah terjemahan dari kata Yunani lainnya yaitu Mētēr Theou; atau kata lainnya yaitu Theomētōr atau Theomētēr, serta Mētrotheos, yang dapat ditemukan dalam teks-teks patristika dan liturgika.

Dalam banyak tradisi, Theotokos diterjemahkan dari bahasa Yunani untuk keperluan bahasa liturgi. Istilah yang paling terkenal adalah dalam bahasa Latin Deipara atau Dei genetrix. Gereja Slavonik Borogoditsa, Koptik Ti. Theotokos, Arab Wālidat Allah, Georgia Ghvtismshobeli, Armenian Astvatzamayr atau Astvadzatzin, dan Romania Născătoare de Dumnezeu atau Maica Domnului.

Penggunaan kata “Bunda Allah” telah dianggap, dan masih dianggap, sebagai translasi yang tidak tepat dari Theotokos. Dan hal ini membutuhkan ruang untuk membahasnya. Kata ini sebenarnya tepat untuk menerjemahkan Mētēr Theou, yang juga menghiasi lembar-lembar literatur, himnografi dan ikonografi. Dalam bentuk yang pendek biasanya disingkat MP ΘY yang dapat dijumpai dalam ikon-ikon Ortodoks. Sebuah himne dinyanyikan sebagai bagian dari Liturgi Surgawi yang termasuk di dalamnya judul atau gelar yang nampaknya mengacu kepada Maria, yang menunjukkan bahwa dua gelar di atas tidaklah identik. Sebuah teks menyatakan demikian, “It is truly fitting to call you blessed, the Theotokos, ever-blessed and holy pure ant the Mother of God.

Perbedaaan antara kedua istilah ini ialah bahwa pada istilah pertama, Theotokos merujuk secara langsung kepada keterhubungan secara badani, sedangkan istilah kedua, “Bunda Allah,” menerangkan suatu hubungan keluarga tetapi tidak melulu harus berkaitan dengan persalinan secara fisik. Dalam tradisi Kristen, “Bunda Allah” tidak pernah dipahami atau ditujukan untuk dipahami bahwa Maria merupakan Bunda Allah sejak kekekalan, yaitu sebagai Bunda dari Allah Bapa, tetapi hanya mengacu kepada kelahiran Yesus, yaitu Inkarnasi; tetapi pembatasan istilah “Bunda Allah” harus dimengerti oleh seseorang yang memakainya. Sebaliknya, Theotokos menyebabkannya spesifik dengan sendirinya, dan dengan demikian menghindarkan kesalahpahaman kebundaan Maria secara ilahi.

Istilah Bunda Allah mendapatkan dasar pembenaran di dalam Lukas 1.43, yaitu pada waktu Elisabet menyongsong dan menyambut Perawan Maria sebagai “ibu Tuhanku.”

TEOLOGI THEOTOKOS

Orang Kristen percaya bahwa Allah adalah causa prima, atau penyebab yang terutama, pencipta segala sesuatu, yang tidak punya awal dan mula, dan karenanyalah “tak beribu”. Oleh sebab itu, Maria bukanlah Bunda Allah sejak kekal. Hal ini bertolak belakang dengan keyakinan agama-agama Yunani-Romawi pada khususnya, yang menyebutkan sejumlah figur ilahi perempuan muncul sebagai “ibu-ibu” dari semua dewa-dewi, demi-gods (makhluk separuh dewa) ataupun para pahlawan. Sebagai contoh, Juno dimuliakan sebagai ibu Vulcan; Aphrodit sebagai ibu Aeneas.

Di pihak lain, orang-orang Kristen percaya bahwa Putra Allah diperanakkan oleh Allah Bapa “sebelum permulaan segala zaman”, tetapi dilahirkan “dalam waktu” melalui Maria. Jadi Theotokos bekait erat dengan Inkarnasi, yaitu bahwa Pribadi Kedua Trinitas Kudus mengambil rupa manusia setelah berada dalam keadaan yang ilahi, dan hal ini menjadi mungkin melalui kesediaan dan kerja sama dari Maria.

Oleh sebab sebagian besar orang Kristen memahami Yesus Kristus adalah Allah yang sepenuhnya dan manusia sepenuhnya, maka memanggil Maria Theotokos meneguhkan kepenuhan inkarnasi Allah. Konsili Efesus menetapkan, sebagai perlawanan terhadap mereka yang menolak Maria dengan gelar Theotokos (“seseorang yang melahirkan Allah”), tetapi menyebutnya Christotokos (“seseorang yang melahirkan Kristus”), yaitu bahwa Maria adalah Theotokos oleh sebab putranya Yesus adalah satu pribadi yang adalah Allah dan manusia, ilahi dan insani. Sirilius dari Aleksandria menulis, “Aku terkejut dengan adanya segolongan orang yang sangat meragukan mengenai sang Perawan kudus seharusnya disapa Theotokos atau tidak. Sebab jika Tuhan Yesus Kristus adalah Allah, bagaimana mungkin sang Perawan kudus yang melahirkan-Nya, bukan [Theotokos]? (Surat Edaran 1, kepada para rahib Mesir). Dengan demikian, pentingnya Theotokos diletakkan pada apa yang kata ini ungkapkan mengenai Yesus, daripada gelar-gelar apa pun mengenai Maria.

Dalam ajaran Ortodoks mengenai tata rencana keselamatan, identitas, peran dan status Maria sebagai Theotokos diakui sebagai hal yang tidak dapat ditinggalkan, dan karena itulah ajaran tentang ini diangkat sebagai dogma resmi. Sedangkan sifat-sifat Maria lainnya (ketidakberdosaannya, peristiwa-peristiwa sekitar kelahiran Kristus, penampakannya di Bait Suci dan kematiannya) lebih terungkap di dalam liturgi, namun demikian tidak pernah tertuang secara formal, dan percaya atau tidak akan hal ini bukan merupakan prasyarat bagi sakramen Baptis. Gereja Roma Katoli sebaliknya, telah menggariskan dengan tegas dogma mengenai ajaran tentang Maria: ketidakberdosaannya (Immaculate Conception) oleh Paus Pius IX tahun 1854 dan pengangkatannya ke dalam surga setelah kematian oleh Paus Pius XII tahun 1950.

Banyak Bapa Gereja Perdana memakai gelar Theotokos bagi Maria sejak paling tidak abad ke-3 Masehi:

Ø Origenes (m. 254) sering dikutip sebagai penulis paling dini yang menggunakan kata Theotokos bagi Maria (Socrates, Ecclesiastical History 7.32 mengutip tafsir Origenes terhadap Surat Roma), tetapi teks yang menjadi dasar pernyataan ini mungkin saja tidak asli.

Ø Dionysios dari Aleksandria memakai Theotokos sekitar 250 kali, dalam sepucuk surat kepada Paulus dari Samosata.

Ø Athanasius dari Aleksandria 330 kali, Gregorius sang Teolog 370, Yohanes Krisostomos 400, dan Agustinus selalu memakai Theotokos.

Ø Theodoret memakai 436 sebutan Theotokos bagi Maria dalam sebuah tradisi ajaran rasuli.

GELAR THEOTOKOS BAGI MARIA (1)


“BAPAK ‘KAN PENDETA?”

Saya punya pengalaman yang cukup menarik. Paling tidak untuk saya secara pribadi. Kemarin, Jumat, 25 April 2008 saya pergi ke Semarang. Salah satu “lagu wajib” saya kalau pergi ke Semarang adalah pergi ke toko buku, dan memborong sejumlah buku. Saya pergi ke Toko Buku Kanisius yang terletak di Gereja Katedral Kalisari di Jl. Sugijapranata Semarang, berseberangan dengan Tugu Muda dan Gedung Lawang Sewu.

Setelah beberapa saat melihat-lihat sekeliling ruangan, tiba-tiba ada satu benda yang menawan mata saya. “Ini dia yang saya cari!” Sejumlah Ikon! Sudah beberapa saat ini, saya ingin membeli ikon lagi. Karena belanjaan saya sudah cukup banyak, dan takut bila budget membengkak, saya membawa tiga buah ikon: Theotokos Bogorod, Theotokos Platytera (atau Platythera ton ouranion) dan Christus Pantokrator. Gambar pertama ukurannya cukup besar, bergambar Maria sedang menggendong Yesus (dapat dilihat di blog ini, sidebar berwarna kuning paling bawah, ikon yang paling “rusak”). Ikon kedua Maria yang berdiri dengan dua tangan terangkat dan terbuka dalam posisi doa; sehingga biasanya ikon ini disebut sebagai Bunda Allah Pendoa. Yang Ketiga adalah gambar setengah badan Kristus—tangan kiri membawa Alkitab terbuka dan tangan kanan dalam posisi memberkati dalam tradisi Ortodoks Rusia.

Sesampai di kasir, mas kasir, yang kayaknya seorang Bruder, bertanya kepada saya dengan sopan, “Untuk apa, Pak, ikon-ikon ini?” Sebagai pelanggan tetap toko itu, mas kasir telah mengenal wajah saya yang sering muncul.

Saya menangkap kuriositasnya dan keheranannya! “Untuk Ibadah Taizé dan doa-doa di gereja, Mas.”

“Hmm . . . Bukannya Bapak ini pendeta?” Nah, implikasinya, kok di Protestan ada Taizé dan doa-doa dengan ikon? Inilah yang menjadikannya keheranan.

“Iya . . . betul, Mas,” jawabku santai.

“Biasanya kalau orang Kristen ‘kan anti dengan Maria?” tanya dia.

“Saya belajar sejarah gereja, Mas, dan saya mencoba menghayati sejarah,” jawabku

“Saya tuh punya teman, dia Kristen. Saya tanya pandangannya tentang Maria, dia menolak. Katanya hal ini seperti kecap dan botol. Yesus itu kecap dan Maria adalah botolnya. Kalau kecapnya sudah dapat ‘kan botolnya jadi nggak kepakai lagi.”

“Wah, saya sendiri tidak pandang Maria seperti itu,” jawab saya yang pamungkas sambil membayarkan uang untuk belanjaan itu.

Saya rasa, Anda kini ganti yang bertanya, “Lalu siapakah Maria?” Mengapa saya membeli ikon Maria, dan mengapa dalam berdoa, saya kini membutuhkan ikon? Pertanyaan mengenai ikon tentu tidak dapat dijawab di sini, karena ruang yang cukup luas diperlukan untuk itu. Yang masih menjadi tanda tanya adalah: Siapakah Maria?

Banyak kali, saya mendengar Maria dipandang karikaturnya oleh saudara-saudara saya kaum Protestan, dan khususnya Injili. Pernah saya mem-posting jawaban atas pertanyaan seorang rekan mengenai Katolisisme. Ia masih menyimpan ganjalan mengenai sosok yang demikian ditinggikan di Gereja Katolik Roma. Dan banyak orang pula yang menuduh saudara-saudara Katolik dan Ortodoks memuja-muja Maria, bahwa doktrin yang satu inilah yang membuat syak banyak orang Protestan untuk bersekutu dengan orang Katolik dan Ortodoks.

Bagaimana saya sebagai seorang “pendeta” Protestan dan dari latar belakang Injili memandang Maria? Kalau toh saya melihat seseorang melakukan devosi pribadi di hadapan ikon Maria, apakah berarti hal itu adalah pemujaan terhadap Maria? Harus saya garis bawahi, posisi doktrinal-teologis saya masih kuat. Saya menerima dengan sepenuh hati finalitas karya Kristus! No plus, no minus! Saya percaya kepada Allah Tritunggal Kudus, yang merencanakan, menggenapi dan menerapkan keselamatan; yang mencipta, yang memperdamaikan, dan yang memperbarui wajah ciptaan, dan menuntunnya sampai kepada persekutuan yang kekal bersama Dia. Jadi, Maria itu siapa?

Saturday, April 26, 2008

NASIHAT UNTUK BERTEKUN DALAM PELAYANAN


2 TIMOTIUS 4:1-2

4:1 Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya:

4:2 Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.

PENDAHULUAN

Rasul Paulus adalah seorang pelayan Tuhan yang serius dalam menjalankan tugas pelayanannya. Keseriusan ini hendak rasul tularkan kepada anak didiknya Timotius. Kepada Timotius, ia membukakan gawatnya keadaan dan perlunya dia melanjutkan pemberitaan Injil dengan gigih dan teguh dalam kondisi apa pun. Bilamana ada tantangan, ia harus setia pada kewajibannya sebagai abdi Allah. Hal ini makin kritis untuk disadari oleh sebab sebentar lagi Timotius akan ditinggalkan sendiri (ay. 6-8).

Kita dapat membagi konteks dekat, yaitu ayat 1-5 ke dalam 3 bagian:

Ayat 1 : Saksi Agung bagi sang pelayan

Ayat 2 : Pesan I kepada pelayan (5 buah)

Ayat 3-4 : Latar Belakang pelayanan

Ayat 5 : Pesan II kepada pelayan (4 buah)

Karena terbatasnya ruang dan waktu, kita hanya akan memperhatikan dua ayat saja, ayat 1-2.

Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya dan demi Kerajaan-Nya:

Bagian ini diawali dengan sebuah sumpah. Hal ini mirip sekali dengan 1 Tim. 5.21

Di hadapan Allah dan Kristus Yesus dan malaikat-malaikat pilihan-Nya kupesankan dengan sungguh kepadamu:

Sumpah seperti ini tidak sama dengan “sumpah serapah.” Guna sumpah seperti ini adalah untuk menekankan atau menegaskan bagimana pentingnya nasihat yang akan disebutkan di ayat-ayat berikutnya. Selain itu, keduanya mencerminkan bentuk ungkapan liturgy dalam ibadah jemaat. Bila di 1 Tim. 5.21 ada tiga unsur yang disebutkan di sana: Allah, Kristus Yesus dan malaikat-malaikat pilihan. Sedangkan ayat ini menyebutkan tiga aspek tentang Yesus, yaitu fungsinya sebagai Hakim, kedatangan-Nya yang kedua kali, dan kerajaan-Nya. Pengadilah akan dilakukan oleh Kristus Yesus pada waktu kedatangan-Nya, dan setelah itu Ia akan menegakkan pemerintahan-Nya yang sempurna (pemerintahan Kristus sudah hadir pada waktu Kristus datang pada kali yang pertama!).

Maka kita melihat ketiga unsur, yaitu “pengadilan,” “kedatangan,” dan “menegakkan pemerintahan” dapat dimengerti lebih jelas lagi bahwa Kristus akan datang lagi untuk memerintah sebagai Raja kekal dan untuk menghakimi semua orang yang hidup maupun yang mati. Kepastian akan pemerintahan Kristus yang adil inilah yang menjadikan seorang pelayan harus serius menjalankan tugas pelayanannya.

Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.

(1) Beritakanlah firman. Timotius dinasihati untuk memberitakan Injil atau seluruh pesan atau ajaran yang ia telah terima dari sang rasul bagi semua pengikut Kristus. Berita itu harus disampaikan apa adanya, dan tidak boleh di-discount (bdk. kesaksian rasul di 1Tim. 2.7).

(2) Siap sedialah baik atau tidak baik waktunya. “Siap sedia” berarti “terus giat melakukan kegiatan meskipun ada perlawanan dan tantangan di depan si pelayan.” Dengan kata lain, Timotius dinasihati untuk “tetap gigih” memberitakan Injil atau tugas pelayanannya sebagai pemberita, pada kesempatan yang baik maupun pada kesempatan yang tidak baik. Ini berarti, entah kesempatan itu menyenangkan ataupun tidak bagi si pelayan, ia harus melakukan tugas pelayanannya.

(3) Nyatakanlah apa yang salah. Ungkapan ini berarti “memberi tahu orang-orang bahwa mereka salah. Adanya asertivitas terhadap kesalahan yang dilakukan seseorang. Di 1 Tim. 5.20, Timotius dinasihati untuk membuka kesalahan itu di hadapan orang lain. Ada tujuan bagi jemaat secara umum, yaitu agar kesalahan itu tidak menjalar ke seluruh jemaat.

Mereka yang berbuat dosa hendaklah kautegor di depan semua orang agar yang lain itu pun takut.

(4) Tegorlah. Menegur berarti mengungkapkan rasa sangat tidak setuju terhadap tindakan atau kelakuan seseorang di hadapan orang tersebut. Jadi, Timotius dinasihati untuk memberi tahu orang-orang yang berbuat salah mengenai kesalahan mereka masing-masing dan menegur mereka atas dosa-dosa mereka itu.

(5) Nasihatilah. Kata yang sama diterjemahkan dalam 1 Tim. 1.3 sebagai “mendesak” dan di 1 Tim. 2.1 sebagai “menasihatkan.” Sedangkan dalam 1 Tim. 4.13 “membangun.” Kata tersebut harus dipakai sesuai konteksnya. Dalam konteks sekarang ini, kata ini dipahami sebagai “meminta dengan sungguh-sungguh,” atau “menghibur” atau “memberi semangat dengan perkataan maupun perbuatan.” Timotius harus melakukan fungsi mentoring. Dan untuk melakukannya ia harus dengan penuh kesabaran dan pengajaran, artinya bukan saja tidak putus asa di tengah banyaknya tantangan, tetapi juga sikap yang teguh dan usaha terus menerus untuk mencapai satu tujuan yang telah ditetapkan. Pengajaran berarti tindakannya sebagai seseorang yang membimbing orang lain yang bersalah.

TEPUJILAH ALLAH!

AKAL BUDI YANG HIDUP UNTUK MEMULIAKAN ALLAH (3)


Penutup

Kita sekarang tahu, bahwa sejak awal mulanya, Reformed mendukung pembelajaran sebagai tugas Kristiani. Mereka menempatkan nilai penting keterampilan berbahasa, membaca, menulis dan berbicara. Mereka juga menghargai kejelasan, logika dan ketepatan dalam kehidupan mental. Mereka memberi nilai lebih kepada kemampuan untuk menganalisis problem dan untuk menjabarkan jawaban.

Khotbah, dengan demikian, juga merupakan suatu latihan intelektual dan sebuah disiplin rohani yang memiliki dampak bagi kebudayaan dan masyarakat. Kendati begitu, kaum Reformed bukanlah intelektualistik, yang mendewa-dewakan intelektual! Calvin telah memperingatkan dengan keras untuk melawan rasa ingin tahu yang liar dan spekulasi-spekulasi. Tetapi gairah belajar yang dipadukan dengan kesalehan dan spiritualitas memiliki suatu kualitas, guna dan manfaat yang besar.

Kehidupan akal budi sebagai bentuk pelayanan kepada Allah memiliki tempat yang istimewa di dalam kehidupan bergereja. Calvin menyatakan bahwa pengetahuan tentang ajaran (aspek intelektual) serta komitmen pribadi merupakan syarat untuk datang ke meja Perjamuan Tuhan. Ia yakin bahwa seorang Kristen harus tahu apa yang ia yakini dan mengapa ia meyakini hal itu. Calvin berkata, “Lidah tanpa akal budi sangatlah dibenci oleh Allah.” (“The tongue without the mind must be highly displeasing to God.”)

TERPUJILAH ALLAH!

Disadur dan disarikan dari:

Hesselink, I. John. On Being Reformed: Distinctive Characteristics and Common Misunderstandings. Ann Arbor: Servant, 1983. Hal. 31-38.

Leith, John H. Introduction to the Reformed Tradition. Atlanta: John Knox, 1977. Hal. 77-79.

AKAL BUDI YANG HIDUP UNTUK MEMULIAKAN ALLAH (2)


Menjadi Reformed dalam Pikiran dan Hati

Lalu apa kaitan para teolog di atas dengan kita di era sekarang? Oh, sangat erat! Kita harus akui dalam perkembangan di zaman selanjutnya, pendekatan yang kaku ini memang tetap dilestarikan. Seorang teolog Reformed, yang dianggap “kubu Kiri” (karena pemikirannya yang kadang tidak lagi konservatif), Donald Bloesch mengatakan bahwa kecenderungan kepada rasionalisme bertumbuh pada kehidupan kaum Injili pada masa kini. Ia juga menyatakan bahwa dari tradisi yang muncul dari ortodoksi skolastik Protestan dan mazhab Sekolah Princeton [terdahulu], . . . keyakinan besar diletakkan kepada kapasitas akal budi untuk menentukan kebenaran pewahyuan.[1]

Calvin sendiri akan terkejut bila melihat keyakinan yang besar terhadap penalaran dan logika telah menjadi trade-mark kaum Injili modern. Tidak ada seorang pun yang pernah menuduh Calvin sebagai pemikir yang irasional, namun pada masa yang sama ia pun menyadari betapa terbatasnya pemahaman dan penalaran manusia. Manusia adalah “satu makhluk rasional, yang berbeda dengan semua binatang.” Calvin sendiri sadar akan kecacatan pikiran manusia pasca-kejatuhan. Ia berkata, “what human reason can discern with regard to God’s kingdom and spiritual insight, the greatest geniuses are blinders than moles!” (Institutes II.2.18).

Ketika berbicara mengenai penalaran dan logika, Calvin dengan serta merta merujuk kepada anugerah Allah dan karunia Roh Kudus. Mengacu Yohanes 1.4-5, ia mengatakan, “This means: flesh is not capable of such lofty wisdom as to conceive God and what is God’s unless it be illumined by the Spirit of God.” (Inst. II.2.19). Hal ini adalah sesuatu yang “Allah Bapa di surga karuniakan kepada kaum pilihan-Nya melalui Roh Pembaru” (II.2.20). Berseberangan dengan para pemikir rasionalis, Calvin dengan gigih berkata bahwa pikiran manusia dapat menjadi bijak secara rohani hanya jika Allah mengilhamkannya (II.2.20).

Lalu bagaimana dengan gosip yang telah merambah bahwa Calvin adalah sosok rasionalis yang tidak fleksibel, legalistis dan teologinya mencerminkan suatu kepribadian yang dingin dan kejam? Karikatur seperti ini bahwa tak sedikitdipercayai oleh banyak kaum Calvinis dan pendeta Reformed, yang tidak pernah membaca Calvin dengan cermat. John T. McNeill, sejarawan Calvinis mengatakan,

Seseorang yang mengambil karya terbesar Calvin dengan praduga bahwa pikiran sang penulis seperti sebuah pabrik yang efisien yang segera memproduksi ide-ide dan menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain dalam sebuah struktur logika dogmatik yang terhubung dengan rapi, akan segera menjumpai bahwa asumsi ini ditantang dan diporak-porandakan. Pembaca yang cermat ini segera pula menyadari bahwa bukan intelektualitas sang penulis semata-mata, tetapi seluruh kehidupan spiritual dan emosionalnya tercermin dalam karyanya. . . Dapat kita katakan, ia bukan berprofesi teolog, tetapi seorang manusia yang sangat rohani yang memiliki suatu kejeniusan menata pikiran dan menaati dorongan untuk menulis sebagai akibat dari imannya. Ia tidak menyebut bukunya ini sebuah summa theologiae, tetapi suatu summa pietatis. Rahasia energi mentalnya terletak pada kesalehannya; hasilnya adalah teologinya, kesalehannya dijabarkan dengan panjang lebar. Tugasnya adalah untuk membeberkan (dalam bahasa judul buku orisinalnya) “risalah seutuhnya mengenai kesalehan dan apa pun yang perlu untuk dikenali dalam ajaran mengenai keselamatan.[2]

Calvin bukanlah seorang tukang menata logika yang legalis ataupun dogmatikus rasionalistik sebagaimana yang dipahami selama ini. Bandingkanlah Institutio-nya dengan kebanyakan buku teologi sistematika yang terkenal, dan akan nampak jelas betapa berbedanya pendekatan Calvin. Di sisi lain, teologinya teramat sering berpadu dengan spiritualitas yang hangat dan gairah Injili yang kerap hilang dalam buku-buku teks teologi ortodoks. Di sisi lain, Institutio secara mencengangkan akan tampak kurang logis dibandingkan dengan karya-karya dogmatika lainnya. Jean-Daniel Benoit, sarjana Calvin dari Perancis, mengatakan bahwa Institutio adalah sebuah buku religius, dan dalam pengertian khusus, sebuah buku kesalehan ketimbang uraian dogmatika. Buku ini telah menumbuhkembangkan kehidupan rohani begitu banyak generasi Kristen. Institutio bukan sekadar buku dari seorang teolog; ini adalah buku dari seseorang yang sebelum menjadi pendeta, telah memiliki perhatian yang besar terhadap jiwa-jiwa.[3]

Katekismus Heidelberg (1563) mengembuskan jiwa Calvin tersebut, yang cukup berbeda daripada Katekismus Westminster yang ditulis kira-kira seabad sesudahnya (1647). Katekismus Heidelberg (KH) terkenal dengan pendekatan yang eksperensial (terkait dengan pengalaman) dan praktis. KH tidak dimulai dengan suatu prolog teologis tetapi suatu pertanyaan yang pribadi mengenai penghiburan kita pada waktu hidup maupun mati. Sepanjang katekismus ini, setelah doktrin tersebut diuraikan, fokus selanjutnya adalah, “Apa keuntungan yang kau dapatkan?” Inilah teologi sistematika yang serempak merupakan teologi praktika dan pastoral yang menakjubkan.[4]

Perpaduan iman dan pembelajaran, kesalehan yang utama dan pikiran yang berdisiplin juga ditemukan dalam sejumlah pemikir Reformed di kemudian hari. Kita dapat sebutkan misalnya Herman Bavinck[5] di awal abad ke-20, G. C. Berkouwer dan Hendrikus Berkhof.

Teologi Reformed sekali lagi bukanlah teologi yang rasionalistik dan skolastik, tetapi suatu kesaksian iman yang penuh penghormatan kepada Allah yang memberikannya. Teolog Skotlandia, T. F. Torrance, menulis mengenai Calvin, “Teologi pada dasarnya merupakan suatu tindakan penyembahan” (Theology is fundamentally an act of worship).[6]

Hendaklah kita selalu ingat, cara kita berteologi dan berpikir mengenai iman kita sesungguhnya memiliki implikasi-implikasi yang serius terhadap iman kita secara pribadi maupun kehidupan berjemaat. Tetapi nyatanya memang kadang-kadang kita ini cool-cool saja (kalau tidak mau dibilang “dingin”!) dengan iman kita. Bandingkan dengan orang-orang yang mengatakan teologi itu tidak penting, tetapi hidup dan pelayanan mereka sedemikian luar biasa! Atau kita yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, kita merasa iman kita biasa-biasa saja, sekadar menjadi Kristen karena berasal dari keluarga Kristen, serta ragu-ragu atau tidak mampu untuk membagikan iman kita dengan efektif. Seringkali, harus diakui, agama itu berhenti hanya di kepala, tetapi tidak di hati.

Marilah kita belajar dari para pemikir seperti Herman Bavinck dan G. C. Berkouwer. Kesarjanaan mereka tidak perlu diragukan, dan ilmiah dalam pendekatan teologi, namun bersembah sujud dengan rendah hati di hadapan misteri-misteri iman dan dinamika yang belum dapat terselami dari firman Allah. Dan perhatikan dampaknya, yaitu teologi “kelas VIP” yang berpadu dengan penghormatan dan pujian. Keseimbangan seperti ini haruslah menjadi kekhasan kita semua. Perhatikan 1 Petrus 3:15, “. . . siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat. Perhatikan sekali lagi, ada keseimbangan antara kepala yang encer dan dingin dengan hati yang lembut dan hangat, antara tekun belajar dan kesalehan.

John MacKay, juga seorang teolog Calvinis, setelah mencermati bahwa Calvin “menjadi seorang teolog melalui hatinya,” ia menambahkan,

Suatu sistem pemikiran religius dan suatu bentuk organisasi gereja, yang diciptakan oleh seseorang yang hatinya berkobar-kobar, tidak dapat menjadi sejati apabila tidak disertai realitas kehidupan yang dinyalakan oleh suatu semangat (gairah) bagi Allah, dan persekutuan yang akrab [intim] dengan Allah diberi tempat paling sentral. Sebab jauh dalam jantung hati Calvinisme . . . terletak suatu kesalehan yang mendalam, yaitu suatu pengalaman pribadi dengan Allah yang terjalin dengan suatu pengabdian yang menyala-nyala kepada Allah. Kesalehan dengan demikian dipahami sebagai sesuatu yang menyediakan terang dan arahan bagi semua orang Kristen dan pembelajaran humanistik. Kesalehan dalam artian inilah yang menyediakan dinamika yang diperlukan bagi perjalanan kehidupan gereja dan penerapan Kristianitas ke dalam hidup sampai kepenuhannya. Kesalehan telah menjadi jiwa . . . dari semua saksi Kristen, dari keluarga Kristen golongan apa pun yang di dalamnya seorang Kristen menjadi bagiannya.[7]


[1]Donald Bloesch, Essentials of Evangelical Theology (2 vol.; New York: Harper and Row, 1978-79), 2.267-8.

[2]J. T. McNeill, “Introduction” dalam John Calvin, Institutes of Christian Religion (Louisville: Westminster John Knox, c.u. 2003), 11.

[3]Jean-Daniel Benoit, Calvin Directeur d’Ames (Strassbourg: Editions Oberlin, 1947), 14. Terj. oleh I. John Hesselink.

[4]T. F. Torrance, The School of Faith (London: James Clarke, 1959), xvi dst.

[5]Lihat karya magisterialnya, Reformed Dogmatics (4 vols; Grand Rapids: BakerAcademic, 2003-2008). Jilid keempat masih dalam proses cetak.

[6]T. F. Torrance, A Calvin Treasury (ed. W. F. Keesecker; London: SCM, 1968), viii.

[7]J. McKay, The Presbyterian Way of Life (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1960), 9-10. Lihat juga “Piety and the Reformed Tradition,” Reformed Review 23 (Spring 1970), 143 dst.

AKAL BUDI YANG HIDUP UNTUK MEMULIAKAN ALLAH (1)


Sekilas Skolastisisme

Iman Reformed percaya bahwa cara kita berteologi—dan semua orang Kristen yang berpikir melakukan teologi dengan cara yang sederhana sekalipun—berpengaruh tidak hanya kepada cara kita berpikir mengenai Allah, Kristus dan keselamatan kita, tetapi juga membentuk sikap-sikap, kesalehan dan gaya hidup kita. Namun sering kali, berteologi diidentikkan dengan Kekristenan yang negatif, dingin, kaku dan tidak dinamis. Muncullah anggapan bahwa berteologi itu adalah milik para teolog, dan barangsiapa berteologi, mereka akan kehilangan semangat dan jiwa yang berkobar-kobar untuk melayani Allah. Sehingga berteologi adalah sesuatu yang tampak menyeramkan, tidak menggairahkan, abstrak dan doktriner-normatif.

Banyak orang beranggapan bahwa kaum Reformed adalah orang yang seperti ini. Ada istilah yang muncul dalam wacana berteologi, yaitu bahwa Reformed identik dengan “skolastisisme.” Skolastisisme biasanya dipahami secara karikaturi (bukan bentuk dan jiwa yang sebenarnya, hanya merupakan kata orang saja!) sebagai pendekatan teologi yang sangat sedikit menekankan kehangatan, misteri yang agung yang tak dapat dipahami, serta paradoks-paradoks iman (hal-hal nampaknya bertolak belakang, tetapi sebenarnya tidak) dalam kehidupan. Semua direduksi menjadi silogisme yang tegas dan logis. Philip Schaff, seorang sejarawan gereja yang ternama pada awal abad ke-20 mengatakan bahwa rasionalisme merupakan satu dari “penyakit Protestanisme,” sebab sebagaimana teologi skolastik pada Abad Pertengahan, ia cenderung kepada “dogmatisme kering dan ortodoksi yang kaku” di mana doktrin pembenaran dipisahkan secara abstrak dari kekudusan, dan iman yang tercermin dalam doktrin yang lurus diceraikan dari Kekristenan yang praktis.[1]

Jika kita mau memahami Skolastisisme dengan tepat, kata ini mengacu kepada sebuah tradisi penyelidikan dan cara pembelajaran filosofis dan teologis pada Abad Pertengahan. Thomas Aquinas (1224-1274), teolog sistematik terbesar Katolik Roma di sepanjang zaman, merevolusi teologi pada zamannya dengan memakai pendekatan filosofi Aristoteles atas pendekatan barunya. Bukunya Summa Theologica dipandang sebagai pencapaian paling puncak dari teologi skolastik. Metodenya, adalah untuk menyajikan suatu doktrin dalam argumen, kontra-argumen dan solusi, dengan menggunakan iman dan penalaran untuk mendemonstrasikan koherensi dan kebenarannya.

Dalam periode era pertengahan selanjutnya (1300-1450), ketika para teolog mulai untuk menyaring dan mengelaborasi (menerangkan dengan lebih detail) sistem-sistem dari para pemikir terdahulu. Pada masa inilah, istilah “skolastik” kemudian dipahami secara peyoratif (ejekan, merendahkan). Contohnya, pada periode ini, para teolog dituduh tidak melakukan sesuatu yang lebih berguna ketimbang berdebat mengenai seberapa banyakkah malaikat-malaikat yang dapat menari-nari di atas ujung jarum!

Masa Calvin dan Sesudahnya, Skolastik Juga?

Pada era Calvin, pendekatan skolastik telah menjadi sangat kaku dan paling tidak diminati. Para reformator—khususnya Luther—menentangnya dengan keras dan menolak seluruh metode tersebut. Orang-orang terpelajar adalah kata yang paling tidak disukai oleh Calvin. Rujukannya kepada Peter Lombardi (m. 1160) hampir-hampir selalu dalam kerangka ini. Namun setelah meninggalnya Calvin, bertumbuhlah skolastisisme Protestan. Pengganti Calvin, Theodore Beza dapat dikatakan sebagai cikal bakal skolastisisme Protestan. Hal ini terus berkembang dengan pesatnya pada abad ke-17, ketika para teolog Lutheran dan Calvinis memakai pendekatan Aristotelian-Thomistik dalam mengkaji, mengajar dan menulis. Dengan kata lain, hal ini sedikit banyak mematikan dinamika teologi dari para reformator abad ke-16.

Kiranya kita pun perlu memberikan apresiasi yang tepat kepada para teolog abad ke-17 ini. Ada orang-orang Reformed yang hebat seperti Johannes Wollebius, Gisbertus Voetius, dan François Turretin. Juga ada teolog Lutheran seperti Johann Gerhard, J. A. Quenstedt, dan David Hollaz. Mereka ini merupakan kampiun kesarjanaan yang sangat brilian. Warisan mereka ini di kemudian hari secara umumnya dikenal sebagai “mazhab” Ortodoksi Protestan.

Dalam pada itu, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah apakah para teolog di atas tetap setia kepada warta dan jiwa dari Firman Tuhan. Nyatanya, harus diakui bahwa sejumlah teolog skolastik Protestan lebih bergantung kepada pendekatan Neo-Aristotelian dan presuposisi Thomistik, yang tidak saja berdampak pada pendekatan mereka, tetapi juga berita mereka. Iman para reformator yang hidup dan dinamis digantikan dengan kebergantungan kepada penalaran, dan bahkan pada pembedaan-pembedaan yang jauh lebih tegas, serta spekulasi. Hasil yang mengikutinya adalah ortodoksi yang statis, kaku dan mati. Alkitab dan iman digantikan dengan penalaran dan logika.


[1]Philip Schaff, The Principle of Protestantism (Philadelphia/Boston: United Church, 1964), 130.

Thursday, April 17, 2008

Allah Pemberi Pertumbuhan


ALLAH PEMBERI PERTUMBUHAN

Markus 4.26-29

Yesus memberikan sebuah perumpamaan tentang Kerajaan Allah. Kerajaan Allah diumpamakan seperti seorang penabur, yang melakukan pekerjaannya pada siang hari dan pada malam hari ia tidur. Siang hari kemudian ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas, yang kian lama kian tinggi. Dan, bagaimana proses terjadinya, tak seorang pun mengetahuinya.

Kedatangan Kerajaan Allah adalah sebuah rahasia yang besar. William Wrede menyebutnya sebagai “Rahasia Mesianik.” Tentang kapan masanya Kerajaan Allah dan di dalam siapa, tak seorang pun yang tahu. Bahkan menurutnya, Yesus pun tidak. Seorang muda dari Nazaret yang adalah tukang kayu ini belajar untuk mengerti apa arti Kerajaan Allah, yang pada akhirnya ia yakin bahwa mandat Kerajaan Allah itu dilimpahkan ke atas pundaknya. Akhirnya ia pun mulai mengkhotbahkan secara terbuka datangnya Kerajaan Allah yang penuh di atas dirinya.

Sebagian kaum fundamentalis mungkin akan merasa terserang di sini. Argumentasi ini kedengaran Arianis. Masakan Yesus Kristus sang Putra Allah sejak semula tidak “mengetahui” bahwa Ialah pengemban Kerajaan Allah? Bukankah ia adalah Allah yang omniscient? Dan bukankah persidangan gereja Am telah memungkasi masalah ini? Ya memang demikian. Masalah keilahian Yesus telah dituntaskan dalam persidangan gereja Am.

Namun kiranya ketika kita membaca teks dalam Markus, kita belajar melihat teks apa adanya. Yesus berbicara bahwa kedatangan Kerajaan Allah itu semata-mata adalah karya agung Allah. Ia pernah berbicara bahwa hanya Allah Bapa saja yang tahu kapan waktunya kerajaan itu datang. Dengan demikian, kerajaan itu adalah misteri di hadapan manusia, dan semata-mata merupakan prerogatif Allah.

Yesus adalah sang penabur. Seorang penabur yang menaburkan benih firman Kerajaan. Dalam Perjanjian Lama, benih itu adalah benih firman yang keluar dari Allah, dan akan berhasil bagi setiap hal yang telah dirancangkan oleh Allah (Yes. 55.10-11). Dalam sepanjang sejarah, para nabi memberitakan benih firman ini. Yesus menempatkan dirinya dalam arak-arakan para nabi, yang dimandati untuk memberitakan warta kerajaan Allah itu. Dan bilamana Kerajaan Allah itu hadir . . . lihatlah! Ada “ciptaan baru” yang ditandai dengan buah yang dikeluarkan oleh bumi, dimulai dari tangkai dan lambat laun bulir-bulirnya menjadi penuh. Tidakkah kita lihat? Setiap karya yang Allah kerjakan, sesungguhnya ada “kreativitas”! Allah menjadikan sesuatu yang baru, dari sesuatu yang nampak sederhana dan tidak spektakuler.

Akhirnya, musim menuai pun tiba! Masa penuaian, bagi orang Yahudi adalah masa pengadilan Allah. Pengadilan itu berarti Allah akan bertindak berdasarkan perjanjian yang Ia tetapkan sendiri, untuk memutuskan apa yang sesuai kebenaran dan keadilan-Nya. Perjanjian itu berisikan janji-Nya untuk membela umat-Nya dan melepaskan mereka dari musuh-musuh mereka. Allah bertindak atas nama-Nya sendiri, mempertahankan kekudusan nama-Nya.

Jika demikian, bukankah kita patut bersyukur dan menaikkan puji-pujian kepada Allah? Pertama, Allah memiliki rancangan agung, yaitu meneguhkan Kerajaan-Nya di atas muka bumi, dan Ia sendiri yang akan mengerjakannya. Berbahagialah setiap orang yang menjadi warga Kerajaan Allah, karena mereka memiliki jaminan yang pasti.

Kedua, Allah memiliki rancangan yang selalu baik dan menjadikan sesuatu yang baru. Di tengah-tengah kehidupan yang berat dan penuh perjuangan, marilah kita selalu ingat bahwa karya Allah tidak pernah gagal. Allah akan mengerjakan masa depan yang lebih baik bagi kita! Ya, kita memiliki masa depan.

Ketiga, kita semakin diyakinkan untuk berbahagia karena Allah bertindak sesuai dengan natur dan keberadaan-Nya. Ia tidak pernah lalai akan perjanjian-Nya. Jika Ia bertindak, maka tindakan Allah itu bukanlah berdasarkan kasih yang melankolis yang ditujukan semata-mata bagi kita yang sedang berjuang. Allah bukanlah Allah yang mengikuti keinginan manusia, meskipun bila kita mengakui dengan jujur, kita lebih suka Allah yang semacam ini! Namun tahukah kita, bila Allah adalah Allah yang melankolis, maka Ia hanya Allah yang mengikuti pengalaman hidup umat-Nya. Implikasinya, Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Akibat yang lebih fatal lagi, bagaimana mungkin kita dapat mempercayai Allah yang tidak tahu apa yang akan terjadi.

Ada dua pengajaran yang perlu diwaspadai dalam hal ini: (1) open theism, atau “teisme terbuka” yang argumentasinya mirip seperti yang diuraikan di atas, yang merupakan perkembangan terkini dari teologi Arminianisme dengan tokoh-tokohnya seperti Clark Pinnock, William Hasker, John Sanders. Golongan ini cukup rasional, dan para pencetusnya adalah para teolog atau filsuf yang berkelas.

(2) ultra-charismatics, atau “kharismatik ultra.” Ada banyak ragam kharismatik, tetapi golongan yang satu ini memiliki kecenderungan menempatkan Alkitab setara atau bahkan di bawah “pengalaman perjumpaan dengan Allah secara langsung,” dan sebagaimana tercermin dalam lagu-lagu “pujian” (?) yang mengedepankan si “aku” sebagai subjek—aku yang dikasihi, aku yang diperhatikan, aku yang disayangi dan tidak pernah ditinggalkan sendiri.

Tetapi syukur kepada Allah, Ia adalah Allah yang akan mengerjakan segala sesuatu yang Ia telah putuskan. Allah tidak pernah menarik apa yang Ia telah rancangkan. Segala rencana-Nya akan berhasil dengan tuntas. Ia mengerjakannya melalui Mesias Yesus dalam kekuatan Roh-Nya yang kudus. Kepada Allah yang seperti inilah, saya menaruh pengharapan! Bagaimana dengan Anda?

Terpujilah Allah!


Untuk direnungkan:

1. Apakah saya sabar menantikan Allah bekerja di dalam kehidupan saya?

2. Seberapa tekunkah saya belajar untuk menghayati pekerjaan-pekerjaan Allah dan kehendak-Nya seperti Mesias Yesus?

3. Penghiburan apa yang saya miliki bila Allah adalah Allah yang menjadikan segala sesuatu baru?

4. Suka cita seperti apa yang saya dapatkan ketika saya mengenal Allah sebagai Allah yang tidak pernah lalai akan perjanjian-Nya?

Saturday, April 12, 2008

KAWAN SEKERJA ALLAH (3)


SIKAP KAWAN SEKERJA

Bagaimana sikap kawan sekerja Allah yang baik? Mari perhatikan ayat 5-9. Rasul menegaskan bahwa baik ia ataupun Apolos adalah hamba-hamba dari Allah. Mereka berdua adalah milik Allah. Perhatikan Saudara, Apolos sesungguhnya bukanlah tim misi Paulus. Namun Paulus peka dengan perpecahan yang sedikit saja, dapat memicu kehancuran jemaat. Dengan sigap Paulus menerima posisi Apolos sebagai penerus karya yang ia telah mulai di Korintus. Paulus menunjukkan dirinya sebagai manusia rohani, yang dewasa di dalam Kristus. Ia tidak iri hati. Ia tidak berselisih dengan Apolos.

Ia mengatakan “Aku menanam, Apolos menyiram” (ay. 6), memiliki beberapa arti:

(1) satu pekerja tanpa pekerja yang lain, tidaklah ada artinya! Mereka saling membutuhkan dan melengkapi.

(2) kedua pekerja melakukan pekerjaan yang bobotnya sama. Tidak ada nilai pekerjaan yang lebih tinggi daripada yang lainnya.

(3) pertentangan yang dikondisikan antarpekerja di sebuah ladang adalah sia-sia. Ladang itu bukan ajang pertarungan mencari prestasi. Jika tangan-tangan pekerja ladang itu tidak mengayun bersama, maka tanaman itu akan rusak.

(4) Allah adalah sumber kehidupan yang menghasilkan panenan. Penabur menaburkan benih yang disuplai oleh Allah (2Kor. 9.10), dan menaruh benih itu di dalam tanah yang diciptakan Allah. Penyiram hanyalah menjaga tanah tetap berair untuk pertumbuhan, dengan air hujan pemberian Allah.

Tahukah Anda, di sini dipakai tensa aoris untuk menunjukkan pekerjaan penabur dan penyiram. Yang menunjukkan bahwa pekerjaan penabur dan penyiram itu singkat, sejenak dan mengawali sesuatu. Sedangkan untuk Allah yang memberikan pertumbuhan, dipakai tensa imperfect, yang artinya terus-menerus.

Artinya, Allah memberi pertumbuhan terus-menerus melalui pekerjaan penabur dan penyiram. Maka keberhasilan itu tidaklah bergantung kepada kecakapan orang-orang yang berkhotbah atau mengajar, tetapi kepada Allah. Segala pekerjaan kita menjadi sia-sia bila tanpa Allah. Demikian pula, semua pekerjaan yang hendak kita banggakan di hadapan Dia pun menjadi tak ada gunanya.

Maka, di sini, setiap pekerja Allah hendaklah mengingat bahwa kita ini alah sesama rekan pekerja yang dimiliki oleh Allah! Kita sama-sama tidak berharga di hadapan Allah yang mulia! Namun kita dipercaya untuk melakukan tugas dan mengerjakan mandat yang sedemikian besar! Yaitu membawa amanat Injil: amanat Injil untuk dihidupi, amanat Injil untuk dijadikan dasar pelayanan, amanat Injil untuk dibawa melalui kesaksian kita! Hendaklah kita masing-masing tidak ada satu orang pun yang merasa dirinya lebih tinggi daripada yang lain.

PENUTUP

Dua sosok yang paling agung adalah Yesus dan Yohanes Pembaptis. Kalau saudara cermati baik-baik, Yohanes sebenarnya menjadi figur yang lebih menawan ketimbang Yesus.

Ia tampil secara dramatis: memakai jubah dari unta dan menu hariannya adalah belalang dan madu hutan, dan ia sering mengadakan puasa. Ia meneriakkan pertobatan oleh sebab akan segera datangnya Kerajaan yang membawa penghukuman. Perendahannya yang terang-terangan terhadap kesombongan orang Yahudi menuntut respons dari setiap orang Israel untuk bertobat sama seperti pertobatan orang-orang yang tidak percaya, dengan tanda dibaptiskan. Ia berhasil menarik masa yang begitu besar dari kota dan desa di Palestina. Dan karyanya yang paling berani adalah menegur Raja Herodes yang melakukan tindakan asusila—semua ini cukup membuatnya mengesankan dan menjadi fenomena yang takkan pernah terlupakan. Tak ada seorang nabi yang seperti itu selama kurun 500 tahun! Tak seorang pun pernah menyapa Yohanes sebagai seorang rabi, seorang pengajar Yahudi.

Sedangkan Yesus, kita saksikan pelayanan-Nya jauh lebih tenang. Ia tidak memakai baju yang menunjukkan perbedaan dengan kebanyakan orang. Ia makan dan minum dengan menu yang sama yang dimakan oleh orang lain. Faktanya, Ia pun suka hadir di pesta-pesta perjamuan makan. Ia banyak menekankan sukacita dan rahmat di dalam Kerajaan Allah. Cara Ia berbicara lebih seperti seorang guru agama, ketimbang sebagai penerus tradisi para nabi. Bandingkan dengan orang yang dapat ditarik Yohanes, beberapa kali Yesus memang berhasil menawan orang-orang dengan pengajaran-Nya. Tetapi ketika Ia menyelesaikan misi-Nya, hanya sedikit orang yang terus mengikuti-Nya. Itulah sebabnya, tak jarang kita jumpai, Yesus sering dibandingkan dengan Yohanes dalam berbagai hal.

Kendati demikian, simaklah kata-kata yang keluar dari ucapan Yesus,

“Di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis” (Mat. 11.11).

Sedangkan dari mulut Yohanes Pembaptis, kita mendengar kesaksian,

“Ia yang datang kemudian daripadaku, lebih berkuasa daripadaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya” (Mat. 3.11).

Ketika terjadi perselisihan di antara murid Yohanes Pembaptis dan murid Yesus, Yohanes Pembaptis mengatakan,

Yang empunya mempelai perempuan ialah mempelai laki-laki; tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang ini sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yoh. 3.29-30).

Saudara-saudaraku, kawan sekerja: kita sama-sama milik Allah dan kita melayani umat milik Allah di tempat yang menjadi milik Allah. Entahkah kita ini rohaniwan, majelis jemaat, dan jemaat, sudahkah kita memiliki rasa hormat, kepedulian dan kasih kepada Allah? Kasih kepada Allah mewujud dalam kasih kita kepada orang-orang di sekitar kita:

Ø Bila Saudara adalah seorang jemaat yang baik, Saudara akan menghormati dan mendukung orang-orang yang bekerja untuk kepentingan jemaat.

Ø Bila Saudara adalah seorang penatua atau aktivis bahkan rekan-rekan rohaniwan, Saudara akan menaruh respek kepada rekan kerja Saudara, dan mau menutup kekurangan dan kesalahan dan memberikan maaf kepada mereka yang bersalah kepada Anda; meneguhkan dan bukan menghancurkan.

Ø Bila Saudara adalah seorang pemimpin perusahaan, atau seorang petinggi di sebuah instansi, Saudara pun akan menghormati mereka yang ada di bawah Anda, dan memperjuangkan hak-hak kemanusiaan bagi mereka yang kecil dan tidak mendapatkan gaji sebesar Saudara.

Kekristenan membuktikan ini. Melalui rasul Paulus dan Apolos; Yesus Kristus dan Yohanes Pembaptis. Kita adalah kawan-kawan sekerja: ada yang menanam, ada yang menyiram. Namun Allah saja yang memberikan kehidupan! Apa yang kita banggakan? Tidak ada! Terpujilah Allah!