Saturday, April 26, 2008

AKAL BUDI YANG HIDUP UNTUK MEMULIAKAN ALLAH (2)


Menjadi Reformed dalam Pikiran dan Hati

Lalu apa kaitan para teolog di atas dengan kita di era sekarang? Oh, sangat erat! Kita harus akui dalam perkembangan di zaman selanjutnya, pendekatan yang kaku ini memang tetap dilestarikan. Seorang teolog Reformed, yang dianggap “kubu Kiri” (karena pemikirannya yang kadang tidak lagi konservatif), Donald Bloesch mengatakan bahwa kecenderungan kepada rasionalisme bertumbuh pada kehidupan kaum Injili pada masa kini. Ia juga menyatakan bahwa dari tradisi yang muncul dari ortodoksi skolastik Protestan dan mazhab Sekolah Princeton [terdahulu], . . . keyakinan besar diletakkan kepada kapasitas akal budi untuk menentukan kebenaran pewahyuan.[1]

Calvin sendiri akan terkejut bila melihat keyakinan yang besar terhadap penalaran dan logika telah menjadi trade-mark kaum Injili modern. Tidak ada seorang pun yang pernah menuduh Calvin sebagai pemikir yang irasional, namun pada masa yang sama ia pun menyadari betapa terbatasnya pemahaman dan penalaran manusia. Manusia adalah “satu makhluk rasional, yang berbeda dengan semua binatang.” Calvin sendiri sadar akan kecacatan pikiran manusia pasca-kejatuhan. Ia berkata, “what human reason can discern with regard to God’s kingdom and spiritual insight, the greatest geniuses are blinders than moles!” (Institutes II.2.18).

Ketika berbicara mengenai penalaran dan logika, Calvin dengan serta merta merujuk kepada anugerah Allah dan karunia Roh Kudus. Mengacu Yohanes 1.4-5, ia mengatakan, “This means: flesh is not capable of such lofty wisdom as to conceive God and what is God’s unless it be illumined by the Spirit of God.” (Inst. II.2.19). Hal ini adalah sesuatu yang “Allah Bapa di surga karuniakan kepada kaum pilihan-Nya melalui Roh Pembaru” (II.2.20). Berseberangan dengan para pemikir rasionalis, Calvin dengan gigih berkata bahwa pikiran manusia dapat menjadi bijak secara rohani hanya jika Allah mengilhamkannya (II.2.20).

Lalu bagaimana dengan gosip yang telah merambah bahwa Calvin adalah sosok rasionalis yang tidak fleksibel, legalistis dan teologinya mencerminkan suatu kepribadian yang dingin dan kejam? Karikatur seperti ini bahwa tak sedikitdipercayai oleh banyak kaum Calvinis dan pendeta Reformed, yang tidak pernah membaca Calvin dengan cermat. John T. McNeill, sejarawan Calvinis mengatakan,

Seseorang yang mengambil karya terbesar Calvin dengan praduga bahwa pikiran sang penulis seperti sebuah pabrik yang efisien yang segera memproduksi ide-ide dan menghubungkan satu bagian dengan bagian yang lain dalam sebuah struktur logika dogmatik yang terhubung dengan rapi, akan segera menjumpai bahwa asumsi ini ditantang dan diporak-porandakan. Pembaca yang cermat ini segera pula menyadari bahwa bukan intelektualitas sang penulis semata-mata, tetapi seluruh kehidupan spiritual dan emosionalnya tercermin dalam karyanya. . . Dapat kita katakan, ia bukan berprofesi teolog, tetapi seorang manusia yang sangat rohani yang memiliki suatu kejeniusan menata pikiran dan menaati dorongan untuk menulis sebagai akibat dari imannya. Ia tidak menyebut bukunya ini sebuah summa theologiae, tetapi suatu summa pietatis. Rahasia energi mentalnya terletak pada kesalehannya; hasilnya adalah teologinya, kesalehannya dijabarkan dengan panjang lebar. Tugasnya adalah untuk membeberkan (dalam bahasa judul buku orisinalnya) “risalah seutuhnya mengenai kesalehan dan apa pun yang perlu untuk dikenali dalam ajaran mengenai keselamatan.[2]

Calvin bukanlah seorang tukang menata logika yang legalis ataupun dogmatikus rasionalistik sebagaimana yang dipahami selama ini. Bandingkanlah Institutio-nya dengan kebanyakan buku teologi sistematika yang terkenal, dan akan nampak jelas betapa berbedanya pendekatan Calvin. Di sisi lain, teologinya teramat sering berpadu dengan spiritualitas yang hangat dan gairah Injili yang kerap hilang dalam buku-buku teks teologi ortodoks. Di sisi lain, Institutio secara mencengangkan akan tampak kurang logis dibandingkan dengan karya-karya dogmatika lainnya. Jean-Daniel Benoit, sarjana Calvin dari Perancis, mengatakan bahwa Institutio adalah sebuah buku religius, dan dalam pengertian khusus, sebuah buku kesalehan ketimbang uraian dogmatika. Buku ini telah menumbuhkembangkan kehidupan rohani begitu banyak generasi Kristen. Institutio bukan sekadar buku dari seorang teolog; ini adalah buku dari seseorang yang sebelum menjadi pendeta, telah memiliki perhatian yang besar terhadap jiwa-jiwa.[3]

Katekismus Heidelberg (1563) mengembuskan jiwa Calvin tersebut, yang cukup berbeda daripada Katekismus Westminster yang ditulis kira-kira seabad sesudahnya (1647). Katekismus Heidelberg (KH) terkenal dengan pendekatan yang eksperensial (terkait dengan pengalaman) dan praktis. KH tidak dimulai dengan suatu prolog teologis tetapi suatu pertanyaan yang pribadi mengenai penghiburan kita pada waktu hidup maupun mati. Sepanjang katekismus ini, setelah doktrin tersebut diuraikan, fokus selanjutnya adalah, “Apa keuntungan yang kau dapatkan?” Inilah teologi sistematika yang serempak merupakan teologi praktika dan pastoral yang menakjubkan.[4]

Perpaduan iman dan pembelajaran, kesalehan yang utama dan pikiran yang berdisiplin juga ditemukan dalam sejumlah pemikir Reformed di kemudian hari. Kita dapat sebutkan misalnya Herman Bavinck[5] di awal abad ke-20, G. C. Berkouwer dan Hendrikus Berkhof.

Teologi Reformed sekali lagi bukanlah teologi yang rasionalistik dan skolastik, tetapi suatu kesaksian iman yang penuh penghormatan kepada Allah yang memberikannya. Teolog Skotlandia, T. F. Torrance, menulis mengenai Calvin, “Teologi pada dasarnya merupakan suatu tindakan penyembahan” (Theology is fundamentally an act of worship).[6]

Hendaklah kita selalu ingat, cara kita berteologi dan berpikir mengenai iman kita sesungguhnya memiliki implikasi-implikasi yang serius terhadap iman kita secara pribadi maupun kehidupan berjemaat. Tetapi nyatanya memang kadang-kadang kita ini cool-cool saja (kalau tidak mau dibilang “dingin”!) dengan iman kita. Bandingkan dengan orang-orang yang mengatakan teologi itu tidak penting, tetapi hidup dan pelayanan mereka sedemikian luar biasa! Atau kita yang dibesarkan dalam keluarga Kristen, kita merasa iman kita biasa-biasa saja, sekadar menjadi Kristen karena berasal dari keluarga Kristen, serta ragu-ragu atau tidak mampu untuk membagikan iman kita dengan efektif. Seringkali, harus diakui, agama itu berhenti hanya di kepala, tetapi tidak di hati.

Marilah kita belajar dari para pemikir seperti Herman Bavinck dan G. C. Berkouwer. Kesarjanaan mereka tidak perlu diragukan, dan ilmiah dalam pendekatan teologi, namun bersembah sujud dengan rendah hati di hadapan misteri-misteri iman dan dinamika yang belum dapat terselami dari firman Allah. Dan perhatikan dampaknya, yaitu teologi “kelas VIP” yang berpadu dengan penghormatan dan pujian. Keseimbangan seperti ini haruslah menjadi kekhasan kita semua. Perhatikan 1 Petrus 3:15, “. . . siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat. Perhatikan sekali lagi, ada keseimbangan antara kepala yang encer dan dingin dengan hati yang lembut dan hangat, antara tekun belajar dan kesalehan.

John MacKay, juga seorang teolog Calvinis, setelah mencermati bahwa Calvin “menjadi seorang teolog melalui hatinya,” ia menambahkan,

Suatu sistem pemikiran religius dan suatu bentuk organisasi gereja, yang diciptakan oleh seseorang yang hatinya berkobar-kobar, tidak dapat menjadi sejati apabila tidak disertai realitas kehidupan yang dinyalakan oleh suatu semangat (gairah) bagi Allah, dan persekutuan yang akrab [intim] dengan Allah diberi tempat paling sentral. Sebab jauh dalam jantung hati Calvinisme . . . terletak suatu kesalehan yang mendalam, yaitu suatu pengalaman pribadi dengan Allah yang terjalin dengan suatu pengabdian yang menyala-nyala kepada Allah. Kesalehan dengan demikian dipahami sebagai sesuatu yang menyediakan terang dan arahan bagi semua orang Kristen dan pembelajaran humanistik. Kesalehan dalam artian inilah yang menyediakan dinamika yang diperlukan bagi perjalanan kehidupan gereja dan penerapan Kristianitas ke dalam hidup sampai kepenuhannya. Kesalehan telah menjadi jiwa . . . dari semua saksi Kristen, dari keluarga Kristen golongan apa pun yang di dalamnya seorang Kristen menjadi bagiannya.[7]


[1]Donald Bloesch, Essentials of Evangelical Theology (2 vol.; New York: Harper and Row, 1978-79), 2.267-8.

[2]J. T. McNeill, “Introduction” dalam John Calvin, Institutes of Christian Religion (Louisville: Westminster John Knox, c.u. 2003), 11.

[3]Jean-Daniel Benoit, Calvin Directeur d’Ames (Strassbourg: Editions Oberlin, 1947), 14. Terj. oleh I. John Hesselink.

[4]T. F. Torrance, The School of Faith (London: James Clarke, 1959), xvi dst.

[5]Lihat karya magisterialnya, Reformed Dogmatics (4 vols; Grand Rapids: BakerAcademic, 2003-2008). Jilid keempat masih dalam proses cetak.

[6]T. F. Torrance, A Calvin Treasury (ed. W. F. Keesecker; London: SCM, 1968), viii.

[7]J. McKay, The Presbyterian Way of Life (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1960), 9-10. Lihat juga “Piety and the Reformed Tradition,” Reformed Review 23 (Spring 1970), 143 dst.

No comments:

Post a Comment