Saturday, June 16, 2007

Dr. habil. Musa


Dr. habil. Musa


Anda mungkin pernah berjumpa dengan seorang profesor lulusan sekolah Jerman. Bagaimana kesan Anda? Cerdas. Mungkin jenius. Berdaya analisis tinggi. Berpertimbangan cermat. Mungkin ia jebolan dari Universitas Berlin, Hamburg, Heidelberg, Tuebingen, Munich, dan sebagainya. Menurut tuturan orang, untuk mencapai profesorat, seseorang harus mengambil gelar Dr. Habilitation. Ia harus menulis sebuah disertasi pasca-doktoral yang disebut Habilitationschrift. Tentu saja, disertasi ini disertai tuntutan akademik serta orisinalitas topik yang tinggi.

Musa tentu tidak pernah bersekolah di Jerman. Negara ini belum ada pada zaman Musa, dan tidak ada universitas beken di sana. Akan tetapi Musa pernah tinggal 40 tahun di Mesir. Ia pernah menjadi pangeran dari putri Firaun. Kabar-kabarnya, Musa pernah dicalonkan sebagai pengganti Firaun. Kalau begitu, tak salah lagi bila kita menyimpulkan bahwa Musa pernah bersekolah tinggi sekali, istimewa . . . di sebuah institusi pendidikan milik keluarga istana. Sebut saja Univeritas Iskandariah (Ya, betul! Iskandar Zulkarnaen belum lahir pada waktu itu, tapi cukuplah menyebut universitas ini demikian sebagai representasi sekolah yang prestisius). Mungkin setara dengan Universitas Al-Azhar pada masa kini.

Kalau 40 tahun Musa mengenyam pendidikan di sekolah ini, Musa tentu sudah mencapai strata pendidikan tertinggi. Setara S3 mungkin. Atau bahkan ia pun sudah mengambil pasca-doktoral dan menulis sebuah Habilitationschrift di bawah supervisi maha guru paling top marko-top di Mesir. Dr. habil. Musa! Lulus dengan judicium summa cum laude!

Tapi Musa ternyata belum dinyatakan lulus oleh Tuhan. Ia harus mengambil habilitation yang kedua, untuk bidang kepemimpinan massa dan politik kenegaraan. Bukan di Universitas Hippo. Bukan pula di Universitas Ur. Ia “dipaksa” mengambilnya di UPB, Universitas Padang Belantara. (Mau masuk UPH tidak bisa, terlalu tinggi uang sekolah dan beban SKS-nya, sedangkan Musa menjadi buronan politik pada waktu itu.) Sekarang, Mahaguru yang mensupervisi dia adalah Yahweh sendiri. Objek penelitiannya adalah domba-domba milik mertuanya, Yitro. Kurikulum yang harus ia jalani adalah: mencari air, mengawasi binatang-binatang pemangsa domba, dan sabar menghadapi hewan ternak yang terkenal “dungu” itu.

Aneh! Ilmu politik kenegaraan macam apa yang sedang dipelajari oleh Musa? Pakar komunikasi politik sehebat Effendi Ghazali, Ph. D. saja pasti tidak pernah mempelajari perpolitikan massa dengan objek studi binatang piaraan. Tetapi sesungguhnya kurikulum Tuhan berbeda bagi Musa! Ketangguhan serta kegigihannya untuk menerapkan kecakapan ini bagi hewan ternak dengan tanpa sadar telah mencetak kepekaan serta insting yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin sebuah bangsa yang asalnya adalah budak pekerja kasar di Mesir. Ya sama-sama “dungunya,” dan susah diatur.

Kurikulum kepemimpinan yang diterima oleh Musa untuk Dr. habil.-nya yang kedua amat sangat berbeda sekali dengan kurikulum kepemimpinan di Mesir. Ia telah lulus untuk mata kuliah kepemimpinan otoriter dan mata kuliah kepemimpinan absolut untuk menjadi seorang Führer. Ia telah menamatkan mata kuliah manajemen imperium, di mana persuasi dilaksanakan dengan cara eselon atas mendelegasikan tugas kepada eselon di bawahnya. Misalnya Firaun memandatkan tugas kepemimpinan kepada para pangeran, para tumenggung dan akhirnya mandor.

Sedangkan di UPB, Musa dituntut belajar untuk mengemban mandat itu di pundaknya sendiri. Tidak boleh otoritarian-absolut. Tetapi akuntabilitas serta penatalayanan. Ia tengah menjaga domba milik orang lain. Ia harus mempertanggungjawabkan aset milik mertuanya. Tak hanya Musa harus menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya untuk mengemban tugas, tetapi juga mampu menjadi pemimpin sekaligus fasilitator rasa aman bagi kawanan domba itu. Suksesnya kepemimpinan Musa sebagai kepanjangan tangan Allah pada peristiwa eksodus pastilah ditimba dari sekolah-luar-biasanya, di padang belantara. Ia di kemudian hari harus menjaga “kawanan domba” milik Sang Pribadi Mahakuasa. Kegiatan-kegiatan yang biasa-biasa saja, yang akrab dilakukan oleh gembala-gembala sederhana telah membentuk hati Musa untuk memiliki hati seorang pemimpin-gembala. Empat puluh tahun harus dijalaninya. Masa yang teramat lama dalam takaran kita untuk menyelesaikan kurikulum pendidikan demi meraih Dr. habil. dari UPB tersebut, di bawah supervisi Yahweh sendiri. Wow! Namun kembali, Musa memperoleh judicium summa cum laude dari Sang Mahaguru!

Kalau begitu, berapa lama waktu yang Allah sediakan bagi kita untuk mendapatkan Dr. habil. di Universitas Terbuka, “padang belantara” kita masing-masing? Paling kita hanya menyelesaikan tugas resmi kita tiga puluh tahun. Syukur-syukur lebih. Tapi sudah layakkah kita lulus? Apakah Allah akan menganugerahkan gelar itu pada waktu itu? Bagaimana judicium kita kelak? (©leNin0607)

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment