Thursday, June 14, 2007

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 2: A Virtuous Reading


A Virtuous Reading

Saya sedang belajar untuk menanggalkan cara membaca apologetis. Di lubuk hati, saya sering meratap bila membaca tulisan rekan-rekan saya kaum Injili yang suka sekali berapologia. Sayang sekali. Segera tercipta kesan dan praduga, apakah sang penulis artikel sudah ber-a priori dengan tulisan yang dianalisis? Seolah-olah amunisi yang lengkap sudah siap ditembakkan, dan para penulis orisinal menjadi sasaran tembaknya. Dan, apakah sang penulis orisinal setuju bila berada di hadapan penulis artikel? Amunisi yang dianggap ampuh untuk menjatuhkan “lawan” adalah interpretasi Alkitab dalam koridor sendiri. Disadari ataupun tidak, apologetika dalam pembacaan dan penulisan menyiratkan pendakuan bahwa metodologiku benar. Dataku valid. Analisisku OK. Sehingga tak jarang, di dalam sebuah artikel terdapat dua interpretasi yang sama sekali berbeda. Yang lebih disayangkan adalah, pokok permasalahannya juga berseberangan!

Susahnya menjadi teolog adalah, bahwa segala sesuatu harus dikatakan dalam satu kali presentasi. Padahal ruang dan waktu jelas tidak memungkinkan untuk membicarakan pokok pikiran dengan menyeluruh. Akan tetapi kalau tidak, orang lain cenderung akan bertanya, jangan-jangan dia tidak percaya ini, atau itu. Nah, kesempatan dalam kesempitan. Apa yang tidak sempat dikatakan, dibalikkan dan kemudian dituduhkan.

Sementara itu, saya mencoba belajar untuk mengembangkan sebuah virtuous reading (sejauh pengamatan saya, frase ini belum pernah dipakai oleh pakar-pakar edukasi maupun linguistik; tetapi saya mungkin alpa dengan data). Pembacaan adi. Pembacaan yang disertai rasa hormat kepada penulis. Suatu cara membaca yang non-apologetis. Bahkan yang berani untuk terjun langsung kepada sumber aslinya. Bukan dimediasi oleh sumber sekunder apalagi tertier (seperti misalnya Paul Enns, Moody Handbook of Theology). Cara membaca seperti ini, dalam hemat saya, akan mengajarkan kepada kita kemampuan untuk membuat suatu assessment dengan pemikiran yang sedang kita analisis. Assessment yang saya maksud adalah bagaimana kita dapat mencermati dan mencerna sebuah tulisan (yang sudah pasti sangat penting) dalam konteks pergumulan lokal.

Virtuous reading niscaya di-pra-anggapan-i oleh hermeneutika kepercayaan. Bukan hermeneutika kecurigaan. Saya percaya bahwa penulis orisinal tidak sembarangan menulis (bila nampak sembarangan, tanpa data dan analisis yang jelas, ya ngapain dianalisis?). Sebuah tulisan akademis, lebih-lebih lagi, ditujukan untuk membuat wacana akademis lebih semarak, dan tujuan akhirnya tak lain adalah memprovokasi pikiran pembaca untuk mengupayakan sebuah dunia yang lebih baik, dunia yang berperadaban adi-luhung dan lebih layak huni bagi semua makhluk. Jadi, virtuous reading akan mengupayakan pertanyaan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh sang penulis, dan bagaimana saya yang ada di sini pada waktu ini, bergandengan tangan dengan dia yang ada di sana pada waktu itu, untuk bersama-sama mewujudkan sebuah tatanan yang lebih memberikan pengharapan.

Virtuous reading dengan demikian mendorong terciptanya “komunitas yang berkarakter” (menyitir pakar etika Stanley Hauerwas). Dalam bahasa sejarah spiritualitas, kita membaca bukan saja "membaca teks, tetapi bagaimana teks membaca kita." Disposisi hati yang terbuka terhadap teks. Disposisi ini akan melahirkan keutamaan-keutamaan sebagai seorang pembelajar Kristen. Yang diperlukan bukanlah “Aku benar karena yang lain salah!” tetapi “Aku benar karena aku tahu benar.” Dibutuhkan komitmen terhadap apa yang kita ketahui (Michael Polanyi, A Personal Knowledge), dan apa yang kita tawarkan bagi dunia dari apa yang kita peluk sebagai yang benar itu.

Bila wacana ini disetujui, saya cukup yakin, kita tidak hanya mampu berekonsiliasi internal dengan berbagai paham intra-kristianitas, bahkan intra-evangelikalisme, tetapi juga mampu menyeberang batas, melintas-paradigmakan paham, dan berangkulan dengan orang-orang di luar lingkup "cangkang" kita. (Selalu berujung pada diskontinuitas kebenaran? Bersama dengan Pontius Pilatus mari kita sejenak bertanya, ti estin aletheia;).

No comments:

Post a Comment