Friday, June 22, 2007

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 5: Intellico-spiritual Gluttony!


Intellico-spiritual Gluttony!

Aku takut. Benar-benar takut. Siapa yang tahu motivasiku melahap monografi-monografi? Apakah diriku juga tahu alasan mengapanya? Apakah aku membaca untuk menjadi seorang penulis? Apakah aku membaca supaya menjadi seorang ilmuwan teologi? Apakah aku membaca sebagai seorang yang masuk ke laboratorium riset teologi? Atau, apakah aku membaca supaya menghafal istilah-istilah Latin? Apakah aku membaca supaya dianggap orang tidak ketinggalan info? Apakah aku membaca supaya di mimbar tampak lebih gagah ketika mengutip teolog A mengatakan itu, filsuf B mengatakan ini: kalau begini jadi begitu, dan yang begitu tidak bisa begini? Ah, apakah aku membaca supaya makin keren saja?

Fakta malah berkebalikan dari semua itu. Lokasi pelayananku di kota kecil. Kudus. Kota kretek, tetapi juga kota santri. Dua makam sunan (Kudus dan Muria) dari Sembilan Wali Songo ada di kotaku. Kudus jauh dari laboratorium riset teologi. Tidak ada Sekolah Teologi kecuali di Semarang, 54 km. dari kota ini. Di sana pun tidak ada pusat pengkajian teologi yang andal. Aku tergabung dalam Collegium Pastorale di sebuah gereja yang sangat tua, dan kebanyakan hamba Tuhannya humble dan simple. Meski ada satu yang baru saja tuntas gelar D. Min. dari San Fransisco Theological Seminary, dan berhasil menggondol judicium cum laude. Tapi yang lain-lain, mereka terbuka dengan teologi tetapi tidak terlalu memusingkan kajian teologis. Kerjaan yang menumpuk di meja juga sama sekali bukan berhubungan dengan yang senang aku baca. Tapi toh aku senang membaca. Atau mungkin maniak membaca. Lebih-lebih, bukan untuk menjadi penulis. Bukan untuk mengajar. Bukan untuk studi lanjut. Ada apa dengan ini semua?

Aku tersentak. St. Yohanes dari Salib membuat aku harus berpikir dan berpikir dalam. Spiritual gluttony! Jelojoh spiritual. Kemaruk rohani. Apakah aku sedang mengalaminya? Aku kemaruk rohani, dan dalam bahasaku, intellico-spiritual gluttony, kemaruk rohani-intelektual. Jangan-jangan aku sedang melakukan suatu vanitas vanitatum mundi, kesia-siaan di atas kesia-siaan di dunia?! Sebenarnya aku tidak butuh. Sebenarnya aku tidak perlu. Sebenarnya pelayananku tidak terberkati dengan semua bacaanku. Para anak muda, masakan akan aku indoktrinasi dengan ide para pemikir kondang yang kebanyakan orang bule dari Barat itu? Ah, aku tengah melakukan tindakan nista terselubung kalau begitu!

Tapi aku tak bisa. Aku suka dengan pemikiran baru. Aku mencintai ide. Aku senang dengan “yang aneh-aneh.” Aku suka mendulang olah pikir orang. Aku suka membenturkan pemikiran yang satu dengan yang lain. Aku suka menguji posisiku sendiri.

Lalu semua itu untuk apa? St. Yohanes dari Salib memberikan kuncinya! The dark night! Malam kelam. Semua yang kupelajari, semua yang kumasukkan ke dalam pikiranku, semua ide yang berjejal, bekecamuk dan bergejolak pada akhirnya harus menghadapi yang satu ini: malam pekat tak berbulan ataupun berbintang! Di sinilah benturan yang paling riil dari ide di kepalaku. Siap atau tidak. Cepat atau lambat.

Di satu sisi, telah aku imajikan bahwa dalam hidup pribadiku, masa itu akan tiba. Pasti. Tapi di sisi lain, aku pun akan menghadapi suatu realitas korporat yang menghadapi realitas malam kelam. Bagaimana jawabku? Bagaimana sikapku? Di situlah virtuous reading ditantang. Apakah pembacaan akan mampu membidani keutamaan yang mampu menjawab realitas korporat, sehingga terlahirkan sebuah realisme yang berpengharapan! Sobat, aku sedang mengujinya. Dan aku yakin akan terus mengujinya.

Lebih lagi, narasi hidup Gustiku juga mengingatkan aku. Peirasmos besar itu akan tiba! The great disaster! Petaka mahadahsyat. Sama seperti “malam kelam” itu. Bukan berita-berita akhir zaman sensasional yang aku maksudkan. Tapi apa yang akan menimpa diriku, sekitarku, masyarakatku, bangsa dan negaraku, serta bumiku.

No comments:

Post a Comment