Monday, June 18, 2007

NABI, Dipanggil Menjadi Seniman


NABI, Dipanggil Menjadi Seniman


Seniman itu biasanya nyentrik. Sebab, kepuasan yang didapat tak dapat diukur dengan uang berapa pun besarnya. Bila dia merasa senang dengan hasil karyanya, ia puas. Bila merasa cukup banyak menghasilkan karya cipta, ia akan memamerkan karyanya. Bila orang tak mengapresiasi karyanya, ia tak ambil pusing. Penghasilan bukan eksistensi. Rasa cukup tidak ditempatkan di atas kata orang lain.

Nabi juga tak kalah nyentriknya. Seorang nabi tidak mendapat gaji bulanan. Hidupnya mandiri. Ia tidak memedulikan kata orang akan dirinya. Ia tampil di hadapan publik dengan kata-kata. Ia tak ambil pusing dengan penolakan orang. Uang juga bukan menjadi patokan untuk hidup seorang nabi.

Seniman dan nabi, kok mirip? Makin tercenunglah hatiku ketika mengamati tindakan-tindakan kenabian yang eksentrik. Nabi Yeremia dilarang kawin. Nabi Hosea disuruh kawin dengan pelacur. Yehezkiel jadi kutu buku dalam arti sebenarnya, ia disuruh makan buku. Yohanes Pembaptis memakai pakaian bulu dan membaptis di depan banyak orang. Cerita-cerita hidup nabi yang sebenarnya pribadi, tapi disebar-sebar. Untuk apa? Perintah dan larangan yang dari Tuhan yang aneh-aneh menjadi tontonan publik. Ada apa sebenarnya?

Lama kupikir masalah yang satu ini. Nabi tampil di hadapan umat. Tanpa tedheng aling-aling, kekuasan absolut pun ditembus. Kontra raja. Berhadapan dengan para pemimpin tertinggi. Lalu kuamati, biasanya reaksi publik pun negatif. Hmm, tambah aneh. Maka teringatlah aku pada Iwan Fals dengan lagunya, "Bento," yang sempat heboh dan membuatnya harus mendekam beberapa saat di "Hotel Prodeo." Sebab dikabarkan bahwa lagu itu isinya sindiran kepada para ahli waris penguasa Orde Baru yang telah bercokol di negaraku selama 32 tahun.

Ambil contoh lagi, Lekra. Lembaga Kesenian Rakyat, yang pada akhirnya dilarang karena tercium bau ideologi terlarang yang menyadarkan wong cilik akan keadaannya dan berani berkata Tidak kepada pihak penguasa. Tonil-tonil wayang orang, ludruk, ketoprak dari para anggota Lekra dibersihkan. Para penulis seperti Pak Pramudya Ananta Toer (hmm, tanggal lahirnya kebetulan sama denganku) harus mengidungkan nyanyian sunyi seorang bisu di Pulau Buru.

Orang yang nyentrik menjadi ancaman! Di balik jubah para seniman, tersembunyi sebilah pusaka ampuh yang menggentarkan penguasa absolut. Yaitu karyanya. Sementara itu pun kukenang dalam Kitabku yang tebal itu, para nabi tak kalah nyentriknya, dan publik pun ketakutan dengan itu.

Aku baru sadar, waktu membaca kisah Elia untuk kesekian kalinya. Ia baru saja menggelar Festival Mujizat Allah di Gunung Karmel. Nyonya Meneer Prabu Ahab, Madam Izebel, ketakutan sangat dengan sang nabi. Betapa tidak, ia berujar, "Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu." Eloooh! Madam Izebel kan tahu di mana Elia berada. Lha wong dia juga toh yang menyuruh kurirnya untuk mengatakan itu kepada Elia. Kenapa tidak sekalian bawa pasukan sebatalyon? Terus, kenapa juga harus ada waktu "jika besok kira-kira pada waktu ini." Kan ada waktu buat Elia untuk melarikan diri? Kalau begitu, dengan kata lain Elia, kan disuruh pergi jauh-jauh saja sama sang Madam jelita?

Menurutku, Gustiku yang bernama Yesus juga seperti itu. Kata orang sih Dia nabi. Tapi menurutku dia juga Seniman kok. Coba perhatikan tindakan dan kata-kata-Nya. Perumpamaan-perumpamaan yang dekat dengan kisah-kisah di sekitarnya.

Hanya satu yang kurenungkan. Nabi tak ubahnya kayak seniman. Dipanggil menjadi nabi berarti juga dipanggil menjadi seniman. Begitu karyanya tampil di publik, gegerlah massa. Tapi toh sengsara membawa nikmat. Pelan, tapi pasti, akan ada perubahan.

Kadang-kadang, panggilan untuk menjadi transformator diartikan pengubahan yang cepat jadi. Sama sekali bukan. Yang terang adalah keberanian menampilkan karya di depan publik. Meski menggegerkan, tetapi membawa perubahan. Demikian pula dengan teologi. Apakah teologi dapat menjadi karya seni yang mempublik? Menurutku, kok nggak bisa bila melulu berapologetik. Atau melalui tulisan-tulisan yang menerjang palang orang-orang yang berseberangan pandang. Lawan kita bukan pemeluk agama-agama lain, Brur. Tapi pusat kuasa. Dan ini berarti teologi seharusnya mampu menyentak wacana publik dan menuju ke episentrum kuasa. Maka gegerlah pusat kuasa, bagai dilucuti dan telanjang bulat-bulat.

Rasisme masih menjadi masalah. Rekonsiliasi belum juga tuntas. Ekologi memprihatinkan. Agama menjadi macan ompong. Etika dan moralitas hanyalah ada di buku teks kuliah. Samudra uang menjadi tempat berselancarnya para politisi. Masih banyak yang lain dapat kusebut.

Apakah panggilanku ini hanya menjadi gembala di sebuah gereja yang berumur lanjut? Pokoknya aman-aman saja di dalam tembok segi empat, segi enam, segi delapan, dll. Sementara seabreg PR yang di atas mesti juga dikerjakan nih!
TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment