Thursday, June 14, 2007

Hormati Orangtua

HORMATI ORANGTUA
Keluaran 20.12; Efesus 6.13


Idhep-idhep kelangan endhok siji!” Itulah kalimat yang kadang meluncur keluar dari mulut orangtua. Mungkin bukan kedua-duanya. Hanya salah satu dari antara bapak atau ibu. Tetapi kalimat itu mencerminkan rasa jengkel yang kelewat batas kepada anaknya yang nggak ketulungan sikap dan peringainya.

Tapi dunia toh semakin canggih saja. Anak sekarang dikatai seperti itu, bukan malah jera, tetapi menantang, “Yang nyuruh punya anak seperti saya ya siapa?” Atau ada yang lain lagi berkata, “Saya kan nggak minta dilahirkan dalam keluarga ini! Bukan salah saya!”

Aduh, hidup di dunia jadi tambah repot. Tantangan kehidupan bertambah berat. Apa yang disodorkan di hadapan mata kita melalui media massa kian mencerminkan betapa gampangnya bahtera rumah tangga menjadi retak dan karam. Orangtua menyia-nyiakan anak. Anak tidak menghormati orang tua.

Saya kadang merenung. Kalau anak masih kecil, begitu dekat dengan orangtua. Orangtua rela mengantar anak ke sekolah, ke sekolah minggu, ke les pelajaran, dsb. Di mana pun anak berada, nampaknya orangtua tak jauh dari sang anak. Namun beranjak remaja, kondisi jadi berubah. Rumah terasa sempit. Ruang gerak jadi terbatas. Anak menjadi tidak terlalu nyaman bila orangtua mengawasi mereka. Sebaliknya orangtua merasa anak mereka belum dapat sepenuhnya mandiri.

Dampaknya, suasana rumah pun tegang! Anak tidak merasa rumah seperti penjara. Sementara orangtua merasa anak berubah menjadi sesosok pemberontak. Dalam hati orangtua terlintas pikiran, betapa anak tidak tahu berterima kasih. Sementara anak merasa orangtua tak ubahnya layaknya sipir penjaga “Hotel Prodeo.” Siap ataupun tidak, setiap keluarga akan menghadapi tantangan seperti ini.

Keluaran mengajak kita untuk merenungkan makna pentingnya keluarga. Dalam konteks pemikiran orang Yahudi, ada tiga hal yang menjadi konsep dasar yang membentuk cara pandang mereka terhadap dunia di sekitarnya:

  1. Yahweh itu Pembebas.
  2. Tanah Perjanjian diberikan sebagai pusaka Israel.
  3. Tiap-tiap keluarga diberi bagian tanah yang menjadi pusaka.

Di manakah terdapat keterkaitan dari ketiganya? Di dalam keluarga. Pertama, Allah membebaskan orang Israel bukan hanya dari perbudakan di Mesir, untuk menjadi anak yang dikasihi-Nya. “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu” (Hos. 11.1). Relasi yang tercipta antara Allah dan Israel bukan mandor dan budak, tetapi bapa dan anak. Sebuah relasi keluarga. Allah mengangkat Israel sebagai anak-Nya.

Kedua, Israel dipanggil Allah untuk memperoleh tanah yang menjadi pusakanya. Tanah Perjanjian merupakan pemberian Allah. Tanah itu adalah hadiah. Tanah itu harus dipelihara. Tanah itu harus diusahakan supaya memberikan hasil. Tetapi tanah itu juga merupakan tantangan dan ancaman bagi orang Israel. Banyak bangsa yang menghendaki untuk berkuasa atas tanah tersebut. Tanah itu pun berpotensi untuk menjauhkan Israel dari Yahweh. Ada kalanya dalam sejarah Israel, umat Allah justru terlalu menyukai tanah itu ketimbang menghormati Allah. Terlampau cinta dengan pemberian, tetapi lupa siapa yang memberikannya. Cinta dengan harta dapat membuat seseorang pongah. Ia lupa bahwa harta itu adalah pemberian, dan Allah yang menghadiahkannya.

Ketiga, Tanah itu diberikan kepada Israel turun-temurun, dari generasi ke generasi. Israel harus memeliharanya bukan hanya untuk diri mereka, tetapi juga untuk anak cucu. Orang Jawa mengenal perkataan, “Bumi itu bukanlah warisan nenek-moyang, tetapi titipan dari anak-cucu.” Agar pusaka itu menjadi milik yang langgeng, maka keutuhan di dalam keluarga niscaya menjadi prasyarat. Bayangkan bila dalam keluarga umat Israel terdapat ketidakharmonisan. Anak yang satu memberontak kepada orangtua. Maka keluarga pun pecah. Dan, mereka akan kehilangan harta pusaka keluarga.

Andaikan pada masa yang makin berat ini, masih dijumpai sejumlah besar keluarga Kristen yang membaktikan diri kepada Allah, taat kepada Allah, dan menjaga keutuhan keluarga. Kita boleh memandang dalam pengharapan, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik. Tidak perlu seperti John Lennon yang dalam kegamangan hidup berkata, “Imagine there’s no heaven . . . no religion, too . . . Imagine all the people living life in peace.” Bayangkan tiada surga . . . tiada agama juga . . . Bayangkan semua orang hidup dalam kedamaian. Tak sampai hal itu terjadi . . . bila kita membuka diri terhadap firman Tuhan, “Hormatilah orangtua!” Semoga! Amin.

No comments:

Post a Comment