Friday, June 15, 2007

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 4: Tidak Ada Waktu


Tidak Ada Waktu

Alasan yang klasik. Di ladang tidak ada waktu. Tetapi saya sungguh dapat mengerti dan berempati terhadap pergumulan akan hal ini. Benar sekali bahwa di tempat-tempat tertentu, pelayanan sedemikian padatnya sehingga waktu untuk duduk membaca nampaknya tidak ada lagi. Belum lagi kesibukan bersama keluarga yang juga membutuhkan perhatian dari kepala keluarga.

Izinkan saya berbagi hidup, sebagai rekan yang juga melayani di dalam dan bersama jemaat. Jadwal lumayan padat. Tiap hari ada saja acara yang menuntut kehadiran saya. Kelompok Tumbuh Bersama remaja, rapat-rapat, Persekutuan Doa, Persekutuan Wilayah, Penelaahan Alkitab, persiapan kotbah, perkunjungan. Waktu sedemikian sempit.

Saya sering merasa kurang waktu. Tapi saya pun tidak mau sejarah pasca Revolusi Prancis terulang kembali. Tujuh hari kerja, dan satu hari libur. Atau seperti Revolusi Rusia yang menetapkan hari Minggu pun sebagai hari kerja. Manusia mempunyai ambang batas kekuatan kerja.

Malam hari nampaknya merupakan waktu yang tepat untuk belajar. Namun sementara ini pun, waktu malam itu pun kadang-kadang masih tersita. Seorang pengurus remaja sering datang ke rumah dan meminta waktu untuk bincang-bincang masalah pelayanan di komisi remaja.

Dalam pada itu, ternyata masih saja ada waktu untuk membaca dan untuk melakukan penyelidikan. Dalam pengalaman saya sampai kini, buku-buku dalam kategori berat justru memberikan banyak input ketimbang buku-buku praktis. Mungkin bagi orang lain monografi merupakan ladang yang sangat kering. Tetapi saya mempunyai pengalaman yang berbeda. Saya diperkaya dengan refleksi yang mendalam. Sebaliknya, saya sering mengalami kekeringan rohani ketika membaca ilustrasi dan buku-buku praktis dalam kategori how-to.

Saya bukanlah seorang dosen. Saya tidak sedang mengajar di sekolah teologi. Saya belum mempunyai pengalaman dari pelayanan yang satu ini. Entah mengapa, dari hari pertama saya masuk ke seminari, saya tidak terlalu suka dengan hal-hal yang pragmatis. Padahal saya tahu, panggilan hidup saya menjadi pelayan Tuhan di tengah-tengah jemaat. Saya dulu merasa, yang praktis-praktis dapat dipelajari waktu di ladang. Sementara kesempatan empat setengah sampai dengan lima tahun seharusnya saya konsentrasikan pada pendasaran dan mencari meaning dari apa yang saya pelajari. Saya menjadi ngotot belajar biblika, sistematika dan historika, hanya untuk menjadi seorang rohaniwan gereja.

Mendulang mutiara hikmat dari St. Augustinus dari Hippo, saya sedang belajar untuk membuat keseimbangan antara vita activa dan vita contemplativa. Bila vita activa, “kehidupan aktif” terlalu berat, maka saya akan terlibas dalam putaran roda aktivisme. Pelayanan tak ubahnya merupakan sarana bagi survival, mempertahankan hidup atau penghidupan. Tidak ada lagi idealisme yang dituju. Sirnalah cita-cita, digantikan bagaimana caranya agar saya tidak tegeser dari posisi yang sekarang (bila sedang di tempat yang “basah”), atau di sisi lain, mencari-cari cara supaya bisa berpindah ke tempat lain yang menjamin hidup masa kini dan masa yang akan datang.

Namun bila vita contemplativa, “hidup kontemplatif” terlalu berat, saya akan menjadi filsuf seperti lone ranger, ksatria yang kesepian. Mengurung diri di studiorum, asyik dengan pustaka dan ide, menghadapi tuts keyboard di depan layar notebook sampai berjam-jam, dan hanya sesekali keluar untuk melakukan kebutuhan diri. Saya teringat filsuf Søren Kierkegaard dari Denmark yang hidupnya sedemikian rapi, resik, dan hanya pada waktu-waktu tertentu mau keluar rumah. Itu pun sudah diatur jam-jamnya.

Saya semakin sadar, menjaga keseimbangan antara vita activa dan vita contemplativa membutuhkan suatu daya seni tersendiri. Di dalam seni tersebut, saya perlu menemukan suatu hilarity, kegembiraan dan kepuasan. Tiada mungkin tahan bila tiada kepuasan yang menggembirakan, dan kegembiraan yang memuaskan. Menjadi seorang idealis yang realistis, dan menjadi seorang realis yang idealistis.

Di sinilah kunci seorang Kristen belajar. Nah, bila ditanya praktisnya bagaimana, saya diajar oleh gembala senior yang menjadi pembimbing rohani sejak masih remaja untuk menjawab, “Berani mengurangi tidur, dan menyediakan waktu untuk belajar!” Memang berat . . . .

No comments:

Post a Comment