Thursday, June 14, 2007

SPIRITUALITAS MONOGRAFI 1: Tiga Gaya Penulisan Monografi


Tiga Gaya Penulisan Monografi

Sebut saja monografi adalah buku-buku akademis. Entah itu disertasi yang diterbitkan, ataupun hasil penelitian tercanggih yang dipublikasikan. Yang jelas, bobot isinya berat. Catatan-catatan kaki cenderung panjang. Penuh informasi yang dianalisis secara mendalam. Penalarannya njelimet.

Belum lagi kalau kita sempat mencermati perbedaan gaya tulis Kontinental (mis. Prancis, Jerman), Anglo-Saxon, dengan Amerika. Ambillah karya orang Jerman. Misalnya Jürgen Moltmann, teolog Calvinis yang hingga pensiun menjadi pengajar di sekolah beken Tübingen. Atau karya yang lebih klasik, tafsiran PL karya Keil-Delitzsch. Kita akan berjumpa dengan begitu banyak informasi. Informasi-informasi tersebut dianalisis dengan panjang, lebar dan dalam. Kenikmatan membaca tulisan-tulisan orang Jerman atau Prancis adalah kita tidak akan akan kurang informasi. Penulis tidak mau membawa kita ke dalam satu kesimpulan yang sudah diarahkan. Berkali-kali saya pun dibuat terpana dengan kedalaman refleksi para penulis Kontinental. Tetapi terus terang juga, saya sendiri kadang-kadang kehilangan benang merah pemikiran di awal bab atau sub-bab. Kalimat-kalimatnya, naudzubillah minzalik!, panjang-panjang. Dalam satu kalimat, bisa terdapat tiga hingga empat pokok pikiran. Sampai akhirnya sering saya bertanya dalam hati, “Lho, penulis ini mau bicara apa sih?

Lain lagi dengan orang Inggris. Yang jelas, bahasanya lebih klasik. Juga cenderung panjang kalimat-kalimatnya. Jadi, membacanya pun agak susah. Namun orang Inggris lebih senang membicarakan satu pokok pikiran, dan kemudian dikupas sampai tuntas. Paragraf cenderung panjang, satu sub-bab diuraikan secara detail, tetapi—tidak seperti penulis Jerman—gaya Anglo-Saxon akan tetap pada satu pokok pikiran. Dan pasti terdapat refleksi-refleksi menarik sehingga tulisan-tulisan Anglo-Saxon tidak terlampau “kering.” Pernahkah Anda membaca tulisan Thomas F. Torrance? Atau teolog biblika papan atas James D. G. Dunn? Atau dom Oxford John Macquarrie? Akan tetapi bila sudah berniat membaca tulisan orang Anglo-Saxon, siapkan kopi atau teh—apa pun minuman yang Anda sukai—untuk menemani berkonsentrasi. Buat kebanyakan orang Indonesia, kadang perlu mengulang sekali atau dua kali.

Cerita pun berbeda bila kita melintasi Samudra Atlantik dan sampai ke Amerika. Ya, Amerika Utara kini menjadi semacam pusat kekristenan dan agama-agama. Sementara di Eropa daratan dan Kepulauan, jumlah orang Kristen kian merosot, angka kekristenan di Amerika lumayan stabil. Membaca tulisan-tulisan orang Amerika, kesan kita adalah sistematis. Senang dengan poin-poin. Setelah ini, pasti ini, kemudian ini. Gaya bahasanya mudah dicerna. Kalimat-kalimatnya pendek. Dalam satu kalimat terdapat hanya satu pokok pikiran. Enak dibaca. Komunikatif. Dibaca sambil nyantai pun bisa. Tak perlu khawatir bila Anda mau meninggalkan studiorum untuk sejenak melakukan aktivitas lain, dan meninggalkan bagian yang Anda baca. Begitu kembali duduk, Anda masih akan ingat apa yang Anda baca. Cobalah membaca teologi sistematikanya Wayne Grudem atau Robert L. Reymond.

Saya sendiri lebih suka gaya orang Inggris menulis. Seolah-olah seperti seekor burung elang terbang, berputar-putar di angkasa, tiba-tiba meliuk, ke satu pusat, dan menyambar sasarannya. Tepat target! Saya merasa, dengan membaca karya penulis Anglo-Saxon, daya nalar diangkat bukan untuk mendapat informasi saja, dan digiring kepada kesimpulan penulis, tetapi juga diyakinkan akan mengapa kesimpulannya mesti demikian. Di sinilah titik di mana saya diajak untuk berefleksi. Kalaupun saya harus berseberangan dengan penulisnya, dan kesimpulan lain yang pada akhirnya saya dapatkan, namun kedalaman refleksinya telah menggoreskan impresi tersendiri sehingga tak mungkin bagi saya untuk tidak berkata, “Salut!” Demikian misalnya ketika saya membaca karangan John Hick atau Don Cupitt.

No comments:

Post a Comment